BAB I
Pendahuluan
A.
Latar
belakang
Trauma adalah penyebab
kematian utama pada usia di bawah 44 tahun di Amerika Serikat. Di
Indonesia, trauma menjadi penyebab kematian utama pada kelompok umur 15 – 24
tahun, dan nomor 2 pada kelompok usia 25 – 34 tahun bersama dengan kematian ibu
hamil. Umumnya, penyebabnya ialah kecelakaan lalulintas, diikuti jatuh,
luka bakar, dan karena kesengajaan (usaha pembunuhan atau kekerasan lain, dan
bunuh diri). Salah satu perintis pelayanan kedaruratan medik termasuk kasus trauma
adalah Dr. Adams R. Cowley. Beliau berpendapat, terlalu banyak kematian
sia-sia pada kasus trauma karena penanganan yang kurang tepat. Dari
beliau muncul konsep The golden hour dan sejak 1961
dirintisnya pendirian Shock Trauma Center di University of
Maryland, Amerika Serikat (AS), bekerja sama dengan US Army. Bersama
Maryland State Police, beliau menyusun sistem pelayanan kedaruratan medik
termasuk penggunaan helikopter sebagai sarana transportasi. Salah
satu hasil jerih payah beliau ialah diberlakukannya Sistem Pelayanan
Kedaruratan Medik (EMSS) secara nasional di AS pada tahun 1973.
Pada Perang Dunia II,
Perang Korea, dan Perang Vietnam telah terbukti bahwa pertolongan sebelum
korban tiba di rumah sakit oleh petugas kesehatan lapangan non-dokter, dapat
meningkatkan harapan hidup korban trauma. Pada tahun 60-an di AS
mulai dilatih petugas ambulans dari personil non-medik, namun baru pada 1984
Departemen Perhubungan di AS membakukan kurikulum 110 jam untuk melatih petugas
ambulans (EMT-A: Emergency Medical Technician – Ambulance).
Pelatihan Advanced
Trauma Life Support (ATLS) dimulai pada tahun 1980 di Alabama, AS, dan
atas prakarsa Dr. Aryono D. Pusponegoro, Ketua Komisi Trauma Ikabi Pusat, mulai
1995 kursus ATLS terselenggara di Indonesia. Beliau juga merintis pelayanan
Ambulans 118 di Sunter, Jakarta, yang sampai sekarang sangat aktif
menyelenggarakan kursus-kursus pertolongan prarumahsakit untuk awam, awam
khusus (petugas Pemadam Kebakaran, anggota Satpam, anggota Pramuka, Polisi, petugas
SAR), dan perawat-perawat. Melalui sistem akreditasi rumah sakit,
Departemen Kesehatan RI berusaha membakukan pelayanan kedaruratan medik di
rumah sakit. Pelayanan ambulans yang di Indonesia umumnya berbasis
rumah sakit, sampai sekarang belum dibakukan secara nasional, meskipun secara
rutin berbagai pusat pendidikan kedokteran sudah melakukan pelatihan-pelatihan
petugas ambulans.
Mengenal
Konsep Advanced Trauma Life Support
Kematian
karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode:
Detik-detik
sampai menit-menit pertama
setelah
trauma, disebabkan karena cedera pada otak, medula spinalis terutama pada
segmen atas, dan cedera jantung atau pembuluh darah besar. Sangat
sedikit korban trauma semacam ini yang bisa diselamatkan. Yang bisa dilakukan
ialah mencegah kejadiannya, misalnya dengan peraturan-peraturan keselamatan
kerja, peraturan di bidang transportasi termasuk peraturan lalulintas,
peraturan tentang pemilikan dan penggunaan senjata api maupun senjata tajam,
penyediaan lapangan kerja, tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan warga
negara, terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, serta tegaknya
hukum.
Menit-menit
sampai jam pertama
setelah
trauma, disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, pneumo/hematotoraks,
ruptura lien, laserasi hepar, fraktura pelvis, dan cedera lain yang menyebabkan
perdarahan. Penilaian cepat disusul dengan resusitasi segera
menurut prinsip-prinsip ATLS, difokuskan pada cedera jenis ini.
Beberapa
hari sampai beberapa minggu
setelah
trauma, paling sering disebabkan oleh sepsis atau kegagalan faal multi
organ. Hal ini dapat dicegah bila pertolongan sejak dari tempat
kejadian sampai terapi definitif dilakukan secara optimal.
Konsep
dasar ATLS yang semula sulit diterima, saat ini sudah menjadi prosedur baku
yang berlaku di seluruh dunia, bahkan untuk kasus-kasus non-trauma.
Konsep tersebut adalah:
Pendekatan
ABCD pada penilaian maupun terapi.
Atasi
keadaan yang paling mengancam jiwa terlebih dahulu.
Diagnosis
definitif tidak penting pada fase awal.
Waktu
berperan amat penting.
Jangan
menambah cedera pasien (Do no further harm).
Cedera
membunuh dengan pola tertentu: tersumbatnya jalan napas membunuh
lebih cepat daripada gangguan pernapasan; gangguan pernapasan membunuh lebih
cepat daripada kehilangan volume darah beredar; selanjutnya massa
intrakranial yang makin membesar adalah masalah letal yang
berikutnya. Karena itu, urut-urutan prioritas evaluasi dan
intervensi kasus trauma mengikuti mnemonik ABCDE sebagai berikut:
A
– Airway: Jalan napas disertai proteksi servikal.
B
– Breathing: Pernapasan disertai ventilasi.
C
– Circulation: Sirkulasi disertai kontrol perdarahan
eksternal.
D
– Disability: Menilai dan mengatasi gangguan saraf
pusat.
E
– Exposure/Environment: Membuka pakaian pasien
dan mengontrol suhu.
Yang perlu
diperhatikan dan dilakukan di tempat kejadian trauma ialah:
1. Keamanan petugas dan
pasien, termasuk perlindungan petugas dari penyakit menular akibat
terkontaminasi cairan tubuh atau darah pasien.
2. Menilai situasi tempat
kejadian dan menentukan perlu bantuan misalnya pemadam
kebakaran, alat ekstrikasi khusus maupun alat transportasi khusus, petugas
perusahaan listrik, jumlah pasien banyak sehingga perlu tambahan ambulans dan
personilnya, perlunya kehadiran dokter khususnya untuk melakukan triase
(pemilahan).
3. Memperkirakan
cedera yang mungkin terjadi dari mekanisme traumanya.
4. Menggunakan pendekatan survei
primer untuk mengidentifikasi ancaman jiwa. Tentukan prioritas
evakuasi berdasarkan adanya ancaman jiwa atau ancaman ekstremitas.
Hati-hati pada pasien pediatri, geriatri, atau gravida.
5. Menjaga jalan napas terbuka
disertai proteksi servikal. Pemasangan jalan napas definitif dilakukan
pada pasien yang terancam jalan napasnya dan yang memerlukan ventilasi.
Yang sering terjadi ialah cedera maksilofasial, trauma kapitis dengan GCS <8,
pernapasan yang tidak efektif (terlalu lambat sampai apnea, atau terlalu
frekuen dan dangkal). Bila intubasi sulit dan jarak ke rumah sakit
rujukan dekat, pertimbangkan krikotiroidotomi jarum untuk insuflasi kalau
ventilasi dengan sungkup dan jalan napas orofaringeal gagal.
6. Ventilasi normal pada dewasa 12
– 20 kali per menit harus terjamin. Pada bradipnea atau takipnea
disertai pernapasan dangkal, diperlukan ventilasi dan oksigenasi
menggunakan bag-valve-mask (kantung-katup-sungkup) disertai
suplemen oksigen. Semua pasien trauma yang terancam jiwanya memerlukan
tambahan oksigen. Bila tersedia, monitor oksimetri pulsus sangat
membantu. Luka terbuka pada dinding toraks ditutup kedap udara
dengan balutan tiga sisi, dan pneumotoraks tension didekompresi dengan
torakosentesis jarum pada sela iga kedua linea medioklavikularis.
7. Menghentikan perdarahan
eksternal dengan membalut-tekan. Pemberian cairan dilakukan hanya setelah
perdarahan eksternal dihentikan.
8. Atasi syok dengan pencegahan
hipotermia dan pembidaian fraktura. Bila ada ancaman jiwa, imobilisasi
dengan long spine board sangat bermanfaat. Kecuali untuk
fraktur femur yang idealnya memerlukan bidai traksi.
9. Jaga stabilisasi spinal secara
manual sampai pasien dapat diimobilisasi denganlong spine board. Ini
terutama penting pada trauma penetrans disertai defisit neurologi, atau trauma
kapitis dengan GCS < 15 atau defisit neurologi.
10. Pasien cedera
kritis dalam waktu 10 menit sudah harus ditransportasikan kerumah sakit
rujukan, agar Golden Period tidak terlampaui.
11. Cairan intravena yang hangat,
diberikan dalam perjalanan ke rumah sakit rujukan.Sasarannya ialah tekanan
darah sistolik 80 – 90 mmHg.
12. Anamnesis terinci dan survei
sekunder hanya dilakukan setelah masalah yang mengancam jiwa teratasi atau
disingkirkan kemungkinannya.
13. Jangan
membuat keadaan pasien lebih buruk (Do no further harm).
Survei Primer
Fungsi vital pasien harus dinilai
dengan cepat dan efisien. Pengelolaan pasien terdiri dari evaluasi
primer secara cepat, resusitasi fungsi-fungsi vital, penilaian sekunder yang
lebih terinci, kemudian diakhiri dengan terapi definitif.
Keadaan yang mengancam jiwa
diidentifikasi dan diatasi menurut prioritas A (Airway:
jalan napas disertai proteksi servikal); B (Breathing:
pernapasan disertai ventilasi), C (Circulation:
sirkulasi disertai membalut-tekan perdarahan eksternal), D (Disability:
status neurologi, E(Exposure/Environment: membuka
pakaian pasien, dengan mencegah hipotermia).
Meskipun urutan prioritasnya sama
dengan orang dewasa, namun kita harus lebih berhati-hati pada kekhususan
pasien pediatri (anatomi jalan napas, cadangan fisiologis yang sangat
besar terhadap kehilangan darah, kelenturan tulang, mudah kehilangan panas
tubuh)pasien gravida (perubahan anatomi dan fisiologi pada gravida,
menilai segera keadaan fetus setelah resusitasi ibu khususnya untuk adanya
fetal distres pada ibu yang belum jelas tanda syoknya), dan pasien geriatri (cadangan
fisiologi sudah menurun, komorbiditas terutama penyakit vaskuler, diabetes,
kelainan jantung kongestif maupun koroner).
A. Jalan Napas Terbuka, Disertai
Proteksi Servikal
Penilaian inisial pasien trauma,
diawali dengan memastikan bahwa jalan napas terbuka. Hal ini
dicapai dengan melakukan inspeksi mencari adanya benda asing, fraktura tulang
wajah, mandibula, atau trakea yang menyumbat jalan napas. Membuka jalan
napas dilakukan dengan manuver chin lift atau jaw
thrust, sambil memproteksi vertebra servikal. Bila ada komunikasi
verbal dengan pasien, dapat dianggap jalan napas saat itu bebas, namun jangan
dilupakan reevaluasi.
Pasien cedera kepala berat dengan
GCS < 8 atau pasien dengan respons motorik buruk, biasanya
memerlukan pemasangan jalan napas definitif. Pada bayi dan anak,
perlu dikuasai kekhususan anatomi maupun alat-alatnya.
Perlu selalu diingat, bahwa cedera
spinal servikal perlu diwaspadai pada cedera multisistem terutama bila
kesadarannya menurun atau ada trauma tumpul di kranial klavikula.
Serling (=pitfalls): 1) Dapat
terjadi, di tangan dokter yang berhati-hati dan penuh perhatian pun membuka
jalan napas tidak berhasil; 2) Intubasi tidak berhasil setelah pemberian obat
relaksan otot, khususnya pada obesitas; 3) Intubasi pada fraktur laring atau
transeksi parsial jalan napas yang tidak terdeteksi, menyebabkan transeksi
total. Serling-serling tersebut tidak selalu dapat dicegah, tetapi
harus bisa diantisipasi.
B. Pernapasan dan Ventilasi
Jalan napas yang terbuka, tidak
menjamin ventilasi yang adekuat. Pertukaran gas yang adekuat
diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan mengeliminasi CO2.
Ventilasi memerlukan fungsi yang adekuat pada paru-paru, dinding toraks, dan
diafragma. Tiap komponen harus diperiksa dan dievaluasi dengan cepat.
Toraks pasien harus terekspos untuk
memastikan pengembangan dinding toraks yang normal pada gerak pernapasan, dan
untuk mendeteksi adanya cedera dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi. Auskultasi dilakukan untuk memastikan aliran udara di
paru-paru. Perkusi dapat menunjukkan adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
Cedera yang dapat dengan cepat
mengganggu ventilasi ialah pneumotoraks tension, flail chest disertai
kontusi pulmo, hematotoraks masif, dan pneumotoraks terbuka.
Cedera-cedera ini harus terdeteksi pada survei primer.
Hemato/pneumotoraks simpleks, fraktura kosta, dan kontusi pulmo dapat
mengganggu ventilasi pada derajat yang lebih ringan, dan biasanya
teridentifikasi pada survei sekunder.
Serling: Membedakan masalah ventilasi dari
sumbatan jalan napas tidak selalu mudah. 1) Pasien yang jelas-jelas dispnea dan
takipnea, bisa memberi kesan adanya sumbatan jalan napas. Bila
penyebabnya pneumotoraks (simpleks atau pun tension), maka intubasi disusul
dengan ventilasi menggunakan kantung-katup akan memperburuk keadaan.
2) Bila pasien yang tidak sadar
memerlukan intubasi dan ventilasi, tindakan tersebut dapat menyebabkan
pneumotoraks sehingga reevaluasi toraks disertai penunjang foto toraks harus
dilakukan sesegera mungkin.
C. Sirkulasi dan Membalut-tekan
Perdarahan Eksternal
1. Volume Darah dan Isi
semenit jantung
Perdarahan adalah penyebab kematian
yang paling dominan pada kasus cedera, dan di rumah sakit, kematian karena
perdarahan ini dapat dicegah dengan terapi yang cepat. Hipotensi setelah
cedera harus dianggap karena hipovolemia, sampai terbukti lain. Penting
sekali menilai status hemodinamika pasien cedera secara cepat dan akurat, dan
ini didapat dengan memeriksa kesadaran, warna kulit, dan nadi.
a.
Tingkat
kesadaran.
Bila volume darah beredar berkurang,
perfusi otak dapat terganggu sampai menurunkan tingkat kesadaran.
Namun pada pasien yang sadar pun mungkin terjadi kehilangan darah yang cukup
banyak.
b.
Warna
kulit.
Pasien yang setelah cedera warna
kulitnya merah-jambu khususnya pada wajah dan ekstremitas, jarang yang kehilangan darah
sampai tingkat kritis. Sebaliknya, wajah yang keabu-abuan disertai
ekstremitas yang pucat merupakan tanda nyata suatu hipovolemia.
c.
Pulsus.
Pulsus pada arteri sentral (femoral
atau karotis) perlu dinilai secara bilateral kualitas, frekuensi, dan
regularitasnya. Pulsus pada arteri perifer yang teraba penuh, lambat, dan
reguler, biasanya menjadi tanda normovolemia pada pasien yang
tidak minum obat penghambat adrenegik beta. Pulsus yang cepat,
pengisian kecil, biasanya suatu tanda hipovolemia, meskipun ada kemungkinan
karena sebab lain. Frekuensi nadi yang normal tidak menjamin bahwa
pasiennya dalam keadan normovolemia. Iregularitas biasanya merupakan
peringatan adanya potensi disfungsi jantung. Pulsus pada arteri sentral
yang tidak teraba yang bukan disebabkan oleh faktor lokal, menunjukkan perlunya
resusitasi segera untuk memulihkan volume darah yang menurun dan memulihkan isi
semenit jantung guna mencegah kematian.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal diidentifikasi
dan dibalut-tekan pada survei primer.
Kehilangan darah dengan cepat
melalui perdarahan eksternal, diatasi dengan menekan langsung pada tempat
perdarahan, secara manual. Bidai pneumatik dapat bermanfaat mengontrol
perdarahan, dan harus terbuat dari bahan transparan agar perdarahan dapat
dimonitor. Tourniquet hanya digunakan pada keadaan
tertentu, misalnya amputasi traumatik, karena akan menggilas jaringan dan
menyebabkan iskemia distal. Penggunaan klem arteri memakan waktu dan
mungkin merusak struktur disekitarnya, khususnya vena dan nervus.
Kehilangan darah secara okulta terutama bersumber dari perdarahan ke dalam
rongga toraks atau rongga abdomen, perdarahan di jaringan lunak sekitar
fraktura tulang panjang yang besar, perdarahan retroperitoneal akibat fraktura
pelvis, atau perdarahan akibat trauma penetrans trunkus.
Serling: Trauma mengenai seluruh
populasi. Golongan usia lanjut, anak, atlet, dan mereka yang
mempunyai kelainan medik kronik, merespons kehilangan darah dengan cara yang
berbeda.
1)
Pasien usia lanjut yang sehat, tidak mampu menaikkan frekuensi denyut jantung
merespons kehilangan darah, sehingga hilanglah tanda awal penurunan volume,
yaitu takikardia. Tekanan
darah korelasinya sangat kecil dengan isi semenit jantung orang tua.
2)
Sebaliknya, anak-anak mempunyai cadangan fisiologi yang sangat besar menghadapi
hipovolemia. Pada saat keadaan memburuk terjadi, berarti suatu bencana
yang gawat.
3)
Atlet terlatih memiliki mekanisme kompensasi yang mirip dengan anak.
Mereka umumnya secara normal dalam keadaan bradikardia, dan pada waktu
kehilangan darah tidak menunjukkan tingkat takikardia yang sama dengan orang
biasa.
4).
Sering terjadi, anamnesis yang terinci tidak mungkin diperoleh sehingga tidak
diketahui penyakit kronik sebelum mengalami trauma, dan obat apa yang
digunakan.
Kemampuan mengantisipasi hal yang
buruk dan kewaspadaan menghadapi status hemodinamika yang “normal”, tetap
diperlukan.
D. Status Neurologi
Penilaian status neurologi dengan
cepat dilakukan pada akhir survei primer, dengan menilai tingkat kesadaran
serta memeriksa ukuran pupil dan refleks cahaya. Tingkat kesadarandiperiksa
dengan metoda AVPU:
A: Alert; sadar.
V: memberi respons
kepada stimulus vokal
P: memberi respons
kepada stimulus nyeri (pain)
U: tidak memberi respons kepada semua
stimulus (unresponsive)
Skala koma Glasgow (GCS = Glasgow
Coma Scale) adalah penilaian neurologi yang cepat, sederhana, dan penting
untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien, tetapi lebih terinci. Bila
tidak bisa dikerjakan pada survei primer, pemeriksaan GCS dilakukan pada survei
sekunder yang lebih terinci dan menjadi pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.
Penurunan tingkat kesadaran dapat
berarti menurunnya oksigenasi dan/atau perfusi serebral, atau mungkin juga
karena cedera serebral secara langsung. Pada setiap penurunan
kesadaran, status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien harus segera direevaluasi.
Penurunan tingkat kesadaran dapat juga diakibatkan oleh alkohol atau
obat-obatan. Bila hipoksia dan hipovolemia dapat disingkirkan, penurunan
kesadaran harus dianggap karena cedera susunan saraf pusat sampai terbukti
lain.
Serling: Meskipun semua usaha telah dilakukan
pada suatu kasus cedera kepala tertutup, status neurologi dapat memburuk,
sering kali secara cepat. Interval lusid yang biasanya terjadi pada
hematoma epidural adalah contoh pasien yang “berbicara dan kemudian
mati”. Reevaluasi yang frekuen dapat mengurangi masalah ini, yaitu
dengan mendeteksi secepat mungkin perubahan yang terjadi, termasuk menilai dari
awal survei primer untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka, ventilasi
adekuat, dan perfusi serebral baik. Konsultasi dini kepada dokter
bedah saraf mengoptimalkan pengelolaan.
E. Membuka baju dan Mencegah
Hipotermia
Pakaian pasien dibuka seluruhnya,
biasanya dengan menggunting bajunya, sehingga tidak ada yang terlewat dalam
pemeriksaan dan penilaian. Jangan lupa menyelimuti pasien setelah
pemeriksaan selesai, untuk mencegah hipotermia di UGD. Cairan
intravena harus dihangatkan sebelum diinfuskan. Suhu ruangan perlu
diperhatikan, karena yang terpenting ialah suhu badan pasien, bukan
kenyamanan petugas UGD.
Serling: Pasien-pasien cedera mungkin tiba di
UGD dalam keadaan hipotermia, dan beberapa diantara mereka yang memerlukan
transfusi masif dan resusitasi cairan, menjadi hipotermi meskipun usaha
pencegahan sudah dilakukan. Masalah ini paling baik diatasi dengan menghentikan
perdarahan sedini mungkin. Ini bisa jadi memerlukan intervensi bedah,
atau fiksasi eksternal pada fraktura pelvis jenis tertentu. Usaha
mengatasi dan mencegah hipotermia adalah komponen resusitasi pada survei primer
yang tidak tertinggalkan.
Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan
mengatasi hal yang mengancam jiwa begitu teridenti-fikasi, adalah hal yang
esensial untuk memaksimalkan pertolongan pasien.
A. Jalan Napas
Jalan napas harus selalu terlindungi
pada semua pasien trauma, dan diamankan dari gangguan.
Tindakan jaw thrust atau chin lift mungkin
sudah cukup. Jalan napas nasofaringeal dapat dipasang untuk menjaga
jalan napas tetap terbuka sebagai terapi inisial pada pasien yang
sadar. Bila pasien tidak sadar dan tidak ada refleks muntah, jalan
napas orofaringeal dapat menolong sementara. Bila ada keraguan
apakah pasien mampu menjaga jalan napas tetap terbuka, harus dipasang jalan
napas definitif.
B. Pernapasan, Ventilasi, dan
Oksigenasi
Jalan napas definitif pada pasien
yang mengalami gangguan jalan napas akibat faktor mekanis, masalah ventilasi,
atau pasien tidak sadar, diperoleh dengan intubasi endotrakeal, nasal atau
oral. Pembedahan untuk memperbaiki jalan napas dilakukan bila
intubasi merupakan kontraindikasi, atau intubasi tidak berhasil.
Pneumotoraks tension akan mengganggu
ventilasi maupun sirkulasi secara akut dan dramatis, dan harus segera diatasi
dengan melakukan dekompresi.
Setiap pasien cedera, memerlukan
suplemen oksigen. Bila tidak terintubasi, oksigen diberikan melalui masker
agar pemberiannya optimal. Monitor oksimeter pulsus sangat bernilai untuk
memastikan saturasi hemoglobin yang adekuat.
C. Sirkulasi
Hentikan perdarahan dengan menekan
langsung atau dengan intervensi bedah.
Paling sedikit dipasang dua jalur
intravena terdiri dari kateter intravena kaliber besar, mengingat kecepatan
pemberian vairan ditentukan oleh diameter sisi dalam kateter dan berbanding
terbalik dengan panjangnya. Kecepatan ini tidak bergantung kepada
diameter vena tempat kateter dipasang. Diutamakan akses vena perifer pada
ekstremitas superior. Vena perifer lain, jalur intraoseus (pada
usia < 6 tahun), venaseksi, jalur vena sentral, digunakan
menurut kebutuhan, sesuai dengan keterampilan dokter yang mengelola.
Pada waktu memasang jalur intravena,
diambil sediaan darah untuk pemeriksaan golongan darah, crossmatch,
pemeriksaan hematologi dasar, dan test kehamilan pada wanita usia subur.
Terapi cairan intravena menggunakan
cairan kristaloid segera dimulai, diutamakan menggunakan Ringer laktat yang
dihangatkan (37 – 40°C) dan diberikan secara cepat. Pada orang dewasa,
bolus cairan ini bisa mencapai 2 – 3 liter sampai ada respons yang memadai.
Pada syok karena perdarahan internal, resusitasi cairan dianjurkan
tidak mencapai tekanan darah normal, karena hipotensi dan vasokonstriksi adalah
pertahanan tubuh menghadapi syok. Usaha ditekankan pada membawa pasien
secepat mungkin ke tempat terapi definitif. Pada pasien pediatri, bolus
RL 20ml/kgBB dapat diberikan sampai tiga kali. Setelah bolus kedua bila
belum ada respons harus konsult bedah, setelah pemberian bolus yang ketiga
diberikan PRC 10ml/kgBB.
Syok pada trauma paling sering
akibat hipovolemia. Bila respons masih belum baik, mungkin diperlukan
darah dari golongan yang sesuai. Syok hipovolemia tidak boleh
diatasi dengan obat vasopresor, steroid, bikarbonat, atau dengan terus-menerus
memberikan kristaloid dan darah. Perdarahan yang terus berlanjut,
perlu dihentikan dengan intervensi bedah, sambil terus diusahakan mengembalikan
volume darah intravaskuler. Hipotermiadapat terjadi
sejak pasien tiba di UGD, atau berkembang dengan cepat di UGD pada pasien yang
tidak diselimuti, setelah mendapat kristaloid bersuhu kamar, atau setelah
transfusi dengan darah dari almari pendingin. Hipotermia berpotensi
letal, dan harus dicegah dengan agresif. Suhu kamar resusitasi
harus dinaikkan, dan cairan atau darah yang diberikan selalu dihangatkan.
Penunjang pada Survei Primer dan
Resusitasi
A. Elektrokardiogram
(EKG)
Semua pasien trauma memerlukan monitor
EKG. Disritmia (termasuk takikardia yang tidak jelas penyebabnya,
fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur, perubahan segmen ST) mungkin
disebabkan cedera jantung akibat trauma tumpul. PEA (pulseless
electrical activity) terjadi karena tamponade jantung, pneumotoraks
tension, atau hipovolemia yang hebat. Bila terjadi bradikardia, konduksi
aberan, atau denyut prematur, perlu dicurigai adanya hipoksia, hipoperfusi,
atau mungkin juga disebabkan oleh hipotermia yang hebat.
B. Kateter Uretra dan Kateter
Lambung
Pemasangan kateter uretra dan
kateter lambung ialah bagian dari fase resusitasi. Sediaan urine harus
diperiksa di laboratorium.
Serling: Tercabutnya tiap kateter atau tube
yang terpasang pada pasien trauma dapat menjadi malapetaka. Kesibukan di
area resusitasi oleh petugas UGD yang melakukan tindakan diagnosis atau terapi
secara simultan, dapat menyebabkan tube terlepas atau ter-geser letaknya.
Transportasi di rumah sakit atau antar rumah sakit memberi resiko serupa.
1. Kateter Uretra.
Produksi urin menjadi indikator yang
sensitif untuk status sirkulasi pasien karena menunjukkan perfusi ginjal,
paling baik dipantau dengan memasang kateter uretra ke dalam buli-buli.
Kontraindikasi pemasangan kateter transuretra ialah transeksi uretra, dicurigai
bila ditemukan: 1) darah di meatus uretra eksternus; 2) ekimosis
perineum; 3) hematoma skrotum; 4) prostat tak teraba atau terletak tinggi pada
pemeriksaan colok rektum; 5) fraktura pelvis. Karena itu, kateter urin
tidak boleh dipasang sebelum dilakukan pemeriksaan genitalia dan
rektum. Pada kecurigaan adanya ruptura uretra, harus dilakukan
uretrografi retrograd untuk memastikan uretra intak.
Serling: Pemasangan kateter uretra dapat
terhambat oleh kelainan anatomi misalnya striktura uretra atau hipertrofi
prostat. Manipulasi berlebihan atau instrumentasi oleh non-spesialis
tidak dianjurkan; lebih baik konsultasi dini kepada spesialis urologi.
2. Tube Gaster.
Indikasi pemasangan tube gaster
ialah mengurangi distensi gaster dan menurunkan resiko aspirasi. Dekompresi
gaster tidak mencegah aspirasi sepenuhnya.Cairan lambung yang kental atau
yang semi-solid tidak selalu dapat melalui tube dengan mudah, dan pemasangannya
dapat merangsang muntah. Agar efektif, tube harus dipasang dengan
tepat, disambung dengan alat penghisap, dan dipastikan berfungsi dengan
baik. Darah keluar dari tube gaster menunjukkan perdarahan
orofaringeal yang tertelan, insersi yang traumatik, atau cedera traktus
digestif proksimal. Bila dicurigai ada fraktura os kribriformis, tube
gaster harus dipasang melalui rute oral, tidak boleh melalui rute nasal, untuk
mencegah pasase intrakranial.
Serling: Pemasangan tube gaster dapat
merangsang muntah, sehingga justru menyebabkan aspirasi. Alat penghisap
yang berfungsi dengan baik, harus tersedia saat memasang tube gaster.
C. Memonitor Pasien
Dibandingkan dengan penilaian
kualitatif pada survei primer, resusitasi yang adekuat paling baik dinilai
dengan perbaikan parameter fisiologi, misalnya frekuensi nadi, tekanan darah,
tekanan nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, produksi urin, dan analisis gas
darah arterial. Nilai parameter-parameter tersebut harus
diperoleh sesegera mungkin setelah survei primer selesai, diikuti
reevaluasi secara periodik.
1. Frekuensi Pernapasan dan Analisis
Gas Darah.
Respirasi yang adekuat dimonitor
dengan pemeriksaan ini. Tube endotrakeal dapat terlepas pada perubahan
posisi pasien.
Serling: Pasien dapat mencabut sendiri tube
yang terpasang, menggigit balon tube, menutup tube endotrakeal, sehingga
reevaluasi sangat penting.
2. Oksimetri Pulsus.
Alat ini mengukur saturasi oksigen
pada hemoglobin secara terus-menerus.
Serling: Sensor oksimeter pulsus jangan
dipasang didistal manset tekanan darah. Hasilnya harus dikonfirmasi
dengan analisis gas darah arterial. Bila tidak sesuai, maka berarti ada
kerusakan pada salah satu determinan.
3. Tekanan Darah harus selalu dimonitor, dengan
pengertian bahwa ia tidak memberi gambaran yang tepat tentang perfusi jaringan.
Serling: Hemodinamika pasien cedera
dipastikan kembali normal bukan hanya dari tekanan darah. Khususnya pada
usia lanjut, dipertimbangkan untuk memasang monitor fungsi jantung secara
invasif (monitor CVP).
D. Sinar-X dan Penunjang
Diagnostik Lain
Sinar-X dimanfaatkan dengan penuh
pertimbangan, dan tidak boleh menghambat resusi-tasi. Foto toraks
AP dan foto AP pelvis dapat memberi informasi yang mengarahkan penilaian pasien
trauma tumpul. Foto toraks dapat mendeteksi kelainan yang berpotensi
mengancam jiwa, sedang foto pelvis dapat menunjukkan fraktura pelvis yang
memerlukan transfusi. Foto servikal lateral dapat mendeteksi
fraktura, dan hasil negatif atau foto yang tidak adekuat belum memastikan tidak
ada cedera mielum servikal..
Pada survei sekunder, foto spinal
servikal dan torakolumbal diperlukan bila keadaan pasien baik dan mekanisme
cedera membuat kita mencurigai kemungkinan cedera spinal. Imobilisasi
spinal yang sudah dilakukan pada survei primer tetap dipertahankan. Foto
pada bagian-bagian yang dicurigai ada cedera harus dilakukan.
Foto-X diagnostik yang esensialbukan kontraindikasi pada kehamilan.
Lavase peritoneal diagnostik dan USG
abdomen sangat bermanfaat untuk mendeteksi dengan cepat perdarahan
intraabdomen, sehingga keputusan untuk menghentikan perdarahan dengan
intervensi bedah dapat segera diambil.
Serling: Masalah teknis yang menyulitkan
prosedur diagnostik seperti obesitas dan gas intralumen usus dapat terjadi,
sehingga diperlukan prosedur diagnostik lain. Dokter bedah yang mengelola
pasien harus dilibatkan dalam proses evaluasi, untuk mengarahkan prosedur
diagnosis dan terapi lebih lanjut.
Survei Primer
Fungsi vital pasien harus dinilai
dengan cepat dan efisien. Pengelolaan pasien terdiri dari evaluasi
primer secara cepat, resusitasi fungsi-fungsi vital, penilaian sekunder yang
lebih terinci, kemudian diakhiri dengan terapi definitif.
Keadaan yang mengancam jiwa
diidentifikasi dan diatasi menurut prioritas A (Airway:
jalan napas disertai proteksi servikal); B (Breathing:
pernapasan disertai ventilasi), C (Circulation: sirkulasi
disertai membalut-tekan perdarahan eksternal), D (Disability:
status neurologi, E(Exposure/Environment: membuka
pakaian pasien, dengan mencegah hipotermia).
Meskipun urutan prioritasnya sama
dengan orang dewasa, namun kita harus lebih berhati-hati pada kekhususan
pasien pediatri (anatomi jalan napas, cadangan fisiologis yang sangat
besar terhadap kehilangan darah, kelenturan tulang, mudah kehilangan panas
tubuh)pasien gravida (perubahan anatomi dan fisiologi pada gravida,
menilai segera keadaan fetus setelah resusitasi ibu khususnya untuk adanya
fetal distres pada ibu yang belum jelas tanda syoknya), dan pasien
geriatri (cadangan fisiologi sudah menurun, komorbiditas terutama
penyakit vaskuler, diabetes, kelainan jantung kongestif maupun koroner).
A. Jalan Napas Terbuka, Disertai
Proteksi Servikal
Penilaian inisial pasien trauma,
diawali dengan memastikan bahwa jalan napas terbuka. Hal ini
dicapai dengan melakukan inspeksi mencari adanya benda asing, fraktura tulang
wajah, mandibula, atau trakea yang menyumbat jalan napas. Membuka jalan
napas dilakukan dengan manuver chin lift atau jaw
thrust, sambil memproteksi vertebra servikal. Bila ada komunikasi
verbal dengan pasien, dapat dianggap jalan napas saat itu bebas, namun jangan
dilupakan reevaluasi.
Pasien cedera kepala berat dengan
GCS < 8 atau pasien dengan respons motorik buruk, biasanya
memerlukan pemasangan jalan napas definitif. Pada bayi dan anak,
perlu dikuasai kekhususan anatomi maupun alat-alatnya.
Perlu selalu diingat, bahwa cedera spinal
servikal perlu diwaspadai pada cedera multisistem terutama bila kesadarannya
menurun atau ada trauma tumpul di kranial klavikula.
Serling (=pitfalls): 1) Dapat
terjadi, di tangan dokter yang berhati-hati dan penuh perhatian pun membuka
jalan napas tidak berhasil; 2) Intubasi tidak berhasil setelah pemberian obat
relaksan otot, khususnya pada obesitas; 3) Intubasi pada fraktur laring atau
transeksi parsial jalan napas yang tidak terdeteksi, menyebabkan transeksi
total. Serling-serling tersebut tidak selalu dapat dicegah, tetapi
harus bisa diantisipasi.
B. Pernapasan dan Ventilasi
Jalan napas yang terbuka, tidak
menjamin ventilasi yang adekuat. Pertukaran gas yang adekuat
diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan mengeliminasi CO2.
Ventilasi memerlukan fungsi yang adekuat pada paru-paru, dinding toraks, dan
diafragma. Tiap komponen harus diperiksa dan dievaluasi dengan cepat.
Toraks pasien harus terekspos untuk
memastikan pengembangan dinding toraks yang normal pada gerak pernapasan, dan untuk
mendeteksi adanya cedera dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan aliran udara di paru-paru. Perkusi
dapat menunjukkan adanya udara atau darah dalam rongga pleura.
Cedera yang dapat dengan cepat
mengganggu ventilasi ialah pneumotoraks tension, flail chest disertai
kontusi pulmo, hematotoraks masif, dan pneumotoraks terbuka.
Cedera-cedera ini harus terdeteksi pada survei primer.
Hemato/pneumotoraks simpleks, fraktura kosta, dan kontusi pulmo dapat mengganggu
ventilasi pada derajat yang lebih ringan, dan biasanya teridentifikasi pada
survei sekunder.
Serling: Membedakan masalah ventilasi dari
sumbatan jalan napas tidak selalu mudah.
1) Pasien yang jelas-jelas dispnea dan
takipnea, bisa memberi kesan adanya sumbatan jalan napas. Bila
penyebabnya pneumotoraks (simpleks atau pun tension), maka intubasi disusul
dengan ventilasi menggunakan kantung-katup akan memperburuk keadaan.
2)
Bila pasien yang tidak sadar memerlukan intubasi dan ventilasi, tindakan tersebut
dapat menyebabkan pneumotoraks sehingga reevaluasi toraks disertai penunjang
foto toraks harus dilakukan sesegera mungkin.
C. Sirkulasi dan Membalut-tekan
Perdarahan Eksternal
1. Volume Darah dan Isi
semenit jantung
Perdarahan adalah penyebab kematian
yang paling dominan pada kasus cedera, dan di rumah sakit, kematian karena
perdarahan ini dapat dicegah dengan terapi yang cepat. Hipotensi setelah
cedera harus dianggap karena hipovolemia, sampai terbukti lain. Penting
sekali menilai status hemodinamika pasien cedera secara cepat dan akurat, dan
ini didapat dengan memeriksa kesadaran, warna kulit, dan nadi.
a.
Tingkat
kesadaran.
Bila volume darah beredar berkurang,
perfusi otak dapat terganggu sampai menurunkan tingkat kesadaran.
Namun pada pasien yang sadar pun mungkin terjadi kehilangan darah yang cukup
banyak.
b.
Warna
kulit.
Pasien yang setelah cedera warna
kulitnya merah-jambu khususnya pada wajah dan ekstremitas, jarang yang
kehilangan darah sampai tingkat kritis. Sebaliknya, wajah yang keabu-abuan
disertai ekstremitas yang pucat merupakan tanda nyata suatu hipovolemia.
c. Pulsus.
Pulsus pada arteri sentral
(femoral atau karotis) perlu dinilai secara bilateral kualitas, frekuensi, dan
regularitasnya. Pulsus pada arteri perifer yang teraba penuh, lambat, dan
reguler, biasanya menjadi tanda normovolemia pada pasien yang
tidak minum obat penghambat adrenegik beta. Pulsus yang cepat,
pengisian kecil, biasanya suatu tanda hipovolemia, meskipun ada kemungkinan
karena sebab lain. Frekuensi nadi yang normal tidak menjamin bahwa
pasiennya dalam keadan normovolemia. Iregularitas biasanya merupakan
peringatan adanya potensi disfungsi jantung. Pulsus pada arteri sentral
yang tidak teraba yang bukan disebabkan oleh faktor lokal, menunjukkan perlunya
resusitasi segera untuk memulihkan volume darah yang menurun dan memulihkan isi
semenit jantung guna mencegah kematian.
2. Perdarahan
Perdarahan eksternal diidentifikasi
dan dibalut-tekan pada survei primer.
Kehilangan darah dengan cepat
melalui perdarahan eksternal, diatasi dengan menekan langsung pada tempat
perdarahan, secara manual. Bidai pneumatik dapat bermanfaat mengontrol
perdarahan, dan harus terbuat dari bahan transparan agar perdarahan dapat
dimonitor. Tourniquet hanya digunakan pada keadaan
tertentu, misalnya amputasi traumatik, karena akan menggilas jaringan dan
menyebabkan iskemia distal. Penggunaan klem arteri memakan waktu dan
mungkin merusak struktur disekitarnya, khususnya vena dan nervus.
Kehilangan darah secara okulta terutama bersumber dari perdarahan ke dalam
rongga toraks atau rongga abdomen, perdarahan di jaringan lunak sekitar
fraktura tulang panjang yang besar, perdarahan retroperitoneal akibat fraktura
pelvis, atau perdarahan akibat trauma penetrans trunkus.
Serling: Trauma mengenai seluruh
populasi. Golongan usia lanjut, anak, atlet, dan mereka yang
mempunyai kelainan medik kronik, merespons kehilangan darah dengan cara yang
berbeda.
1)
Pasien usia lanjut yang sehat, tidak mampu menaikkan frekuensi denyut jantung
merespons kehilangan darah, sehingga hilanglah tanda awal penurunan volume,
yaitu takikardia. Tekanan darah korelasinya sangat kecil dengan isi
semenit jantung orang tua.
2)
Sebaliknya, anak-anak mempunyai cadangan fisiologi yang sangat besar menghadapi
hipovolemia. Pada saat keadaan memburuk terjadi, berarti suatu bencana
yang gawat.
3)
Atlet terlatih memiliki mekanisme kompensasi yang mirip dengan anak.
Mereka umumnya secara normal dalam keadaan bradikardia, dan pada waktu
kehilangan darah tidak menunjukkan tingkat takikardia yang sama dengan orang
biasa.
4).
Sering terjadi, anamnesis yang terinci tidak mungkin diperoleh sehingga tidak
diketahui penyakit kronik sebelum mengalami trauma, dan obat apa yang
digunakan.
Kemampuan mengantisipasi hal yang
buruk dan kewaspadaan menghadapi status hemodinamika yang “normal”, tetap
diperlukan.
D. Status Neurologi
Penilaian status neurologi dengan
cepat dilakukan pada akhir survei primer, dengan menilai tingkat kesadaran
serta memeriksa ukuran pupil dan refleks cahaya. Tingkat kesadarandiperiksa
dengan metoda AVPU:
A: Alert; sadar.
V: memberi respons
kepada stimulus vokal
P: memberi respons
kepada stimulus nyeri (pain)
U: tidak memberi respons kepada semua
stimulus (unresponsive)
Skala koma Glasgow (GCS = Glasgow
Coma Scale) adalah penilaian neurologi yang cepat, sederhana, dan penting
untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien, tetapi lebih terinci. Bila
tidak bisa dikerjakan pada survei primer, pemeriksaan GCS dilakukan pada survei
sekunder yang lebih terinci dan menjadi pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.
Penurunan tingkat kesadaran dapat
berarti menurunnya oksigenasi dan/atau perfusi serebral, atau mungkin juga
karena cedera serebral secara langsung. Pada setiap penurunan
kesadaran, status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien harus segera
direevaluasi. Penurunan tingkat kesadaran dapat juga diakibatkan oleh
alkohol atau obat-obatan. Bila hipoksia dan hipovolemia dapat
disingkirkan, penurunan kesadaran harus dianggap karena cedera susunan saraf pusat
sampai terbukti lain.
Serling: Meskipun semua usaha telah dilakukan
pada suatu kasus cedera kepala tertutup, status neurologi dapat memburuk,
sering kali secara cepat. Interval lusid yang biasanya terjadi pada
hematoma epidural adalah contoh pasien yang “berbicara dan kemudian
mati”. Reevaluasi yang frekuen dapat mengurangi masalah ini, yaitu
dengan mendeteksi secepat mungkin perubahan yang terjadi, termasuk menilai dari
awal survei primer untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka, ventilasi adekuat,
dan perfusi serebral baik. Konsultasi dini kepada dokter bedah
saraf mengoptimalkan pengelolaan.
E. Membuka baju dan Mencegah
Hipotermia
Pakaian pasien dibuka seluruhnya,
biasanya dengan menggunting bajunya, sehingga tidak ada yang terlewat dalam pemeriksaan
dan penilaian. Jangan lupa menyelimuti pasien setelah pemeriksaan
selesai, untuk mencegah hipotermia di UGD. Cairan intravena harus
dihangatkan sebelum diinfuskan. Suhu ruangan perlu diperhatikan,
karena yang terpenting ialah suhu badan pasien, bukan kenyamanan
petugas UGD.
Serling: Pasien-pasien cedera mungkin tiba di
UGD dalam keadaan hipotermia, dan beberapa diantara mereka yang memerlukan
transfusi masif dan resusitasi cairan, menjadi hipotermi meskipun usaha
pencegahan sudah dilakukan. Masalah ini paling baik diatasi dengan menghentikan
perdarahan sedini mungkin. Ini bisa jadi memerlukan intervensi bedah,
atau fiksasi eksternal pada fraktura pelvis jenis tertentu. Usaha
mengatasi dan mencegah hipotermia adalah komponen resusitasi pada survei primer
yang tidak tertinggalkan.
Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan
mengatasi hal yang mengancam jiwa begitu teridenti-fikasi, adalah hal yang
esensial untuk memaksimalkan pertolongan pasien.
A. Jalan Napas
Jalan napas harus selalu terlindungi
pada semua pasien trauma, dan diamankan dari gangguan.
Tindakan jaw thrust atau chin lift mungkin
sudah cukup. Jalan napas nasofaringeal dapat dipasang untuk menjaga
jalan napas tetap terbuka sebagai terapi inisial pada pasien yang
sadar. Bila pasien tidak sadar dan tidak ada refleks muntah, jalan
napas orofaringeal dapat menolong sementara. Bila ada keraguan
apakah pasien mampu menjaga jalan napas tetap terbuka, harus dipasang jalan
napas definitif.
B. Pernapasan, Ventilasi, dan
Oksigenasi
Jalan napas definitif pada pasien
yang mengalami gangguan jalan napas akibat faktor mekanis, masalah ventilasi,
atau pasien tidak sadar, diperoleh dengan intubasi endotrakeal, nasal atau
oral. Pembedahan untuk memperbaiki jalan napas dilakukan bila
intubasi merupakan kontraindikasi, atau intubasi tidak berhasil.
Pneumotoraks tension akan
mengganggu ventilasi maupun sirkulasi secara akut dan dramatis, dan harus
segera diatasi dengan melakukan dekompresi.
Setiap pasien cedera,
memerlukan suplemen oksigen. Bila tidak terintubasi, oksigen diberikan
melalui masker agar pemberiannya optimal. Monitor oksimeter pulsus sangat
bernilai untuk memastikan saturasi hemoglobin yang adekuat.
C. Sirkulasi
Hentikan perdarahan dengan menekan
langsung atau dengan intervensi bedah.
Paling sedikit dipasang dua jalur
intravena terdiri dari kateter intravena kaliber besar, mengingat kecepatan
pemberian vairan ditentukan oleh diameter sisi dalam kateter dan berbanding
terbalik dengan panjangnya. Kecepatan ini tidak bergantung kepada
diameter vena tempat kateter dipasang. Diutamakan akses vena perifer pada
ekstremitas superior. Vena perifer lain, jalur intraoseus (pada
usia < 6 tahun), venaseksi, jalur vena sentral, digunakan
menurut kebutuhan, sesuai dengan keterampilan dokter yang mengelola.
Pada waktu memasang jalur intravena,
diambil sediaan darah untuk pemeriksaan golongan darah, crossmatch,
pemeriksaan hematologi dasar, dan test kehamilan pada wanita usia subur.
Terapi cairan intravena menggunakan
cairan kristaloid segera dimulai, diutamakan menggunakan Ringer laktat yang
dihangatkan (37 – 40°C) dan diberikan secara cepat. Pada orang dewasa,
bolus cairan ini bisa mencapai 2 – 3 liter sampai ada respons yang memadai.
Pada syok karena perdarahan internal, resusitasi cairan dianjurkan
tidak mencapai tekanan darah normal, karena hipotensi dan vasokonstriksi adalah
pertahanan tubuh menghadapi syok. Usaha ditekankan pada membawa pasien
secepat mungkin ke tempat terapi definitif. Pada pasien pediatri, bolus
RL 20ml/kgBB dapat diberikan sampai tiga kali. Setelah bolus kedua bila
belum ada respons harus konsult bedah, setelah pemberian bolus yang ketiga
diberikan PRC 10ml/kgBB.
Syok pada trauma paling sering
akibat hipovolemia. Bila respons masih belum baik, mungkin diperlukan darah
dari golongan yang sesuai. Syok hipovolemia tidak boleh diatasi
dengan obat vasopresor, steroid, bikarbonat, atau dengan terus-menerus
memberikan kristaloid dan darah. Perdarahan yang terus berlanjut,
perlu dihentikan dengan intervensi bedah, sambil terus diusahakan mengembalikan
volume darah intravaskuler. Hipotermiadapat terjadi
sejak pasien tiba di UGD, atau berkembang dengan cepat di UGD pada pasien yang
tidak diselimuti, setelah mendapat kristaloid bersuhu kamar, atau setelah
transfusi dengan darah dari almari pendingin. Hipotermia berpotensi
letal, dan harus dicegah dengan agresif. Suhu kamar resusitasi
harus dinaikkan, dan cairan atau darah yang diberikan selalu dihangatkan.
Penunjang pada Survei Primer dan
Resusitasi
A. Elektrokardiogram
(EKG)
Semua pasien trauma memerlukan
monitor EKG. Disritmia (termasuk takikardia yang tidak jelas penyebabnya,
fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur, perubahan segmen ST) mungkin
disebabkan cedera jantung akibat trauma tumpul. PEA (pulseless
electrical activity) terjadi karena tamponade jantung, pneumotoraks
tension, atau hipovolemia yang hebat. Bila terjadi bradikardia, konduksi
aberan, atau denyut prematur, perlu dicurigai adanya hipoksia, hipoperfusi,
atau mungkin juga disebabkan oleh hipotermia yang hebat.
B. Kateter Uretra dan
Kateter Lambung
Pemasangan kateter uretra dan
kateter lambung ialah bagian dari fase resusitasi. Sediaan urine harus
diperiksa di laboratorium.
Serling: Tercabutnya tiap kateter atau tube
yang terpasang pada pasien trauma dapat menjadi malapetaka. Kesibukan di
area resusitasi oleh petugas UGD yang melakukan tindakan diagnosis atau terapi
secara simultan, dapat menyebabkan tube terlepas atau ter-geser letaknya.
Transportasi di rumah sakit atau antar rumah sakit memberi resiko serupa.
1. Kateter Uretra. Produksi urin menjadi indikator yang
sensitif untuk status sirkulasi pasien karena menunjukkan perfusi ginjal,
paling baik dipantau dengan memasang kateter uretra ke dalam buli-buli.
Kontraindikasi pemasangan kateter transuretra ialah transeksi uretra, dicurigai
bila ditemukan: 1) darah di meatus uretra eksternus; 2) ekimosis
perineum; 3) hematoma skrotum; 4) prostat tak teraba atau terletak tinggi pada
pemeriksaan colok rektum; 5) fraktura pelvis. Karena itu, kateter urin
tidak boleh dipasang sebelum dilakukan pemeriksaan genitalia dan
rektum. Pada kecurigaan adanya ruptura uretra, harus dilakukan
uretrografi retrograd untuk memastikan uretra intak.
Serling: Pemasangan kateter uretra dapat terhambat
oleh kelainan anatomi misalnya striktura uretra atau hipertrofi prostat.
Manipulasi berlebihan atau instrumentasi oleh non-spesialis tidak dianjurkan;
lebih baik konsultasi dini kepada spesialis urologi.
2. Tube Gaster. Indikasi pemasangan tube gaster
ialah mengurangi distensi gaster dan menurunkan resiko aspirasi. Dekompresi
gaster tidak mencegah aspirasi sepenuhnya.Cairan lambung yang kental atau
yang semi-solid tidak selalu dapat melalui tube dengan mudah, dan pemasangannya
dapat merangsang muntah. Agar efektif, tube harus dipasang dengan
tepat, disambung dengan alat penghisap, dan dipastikan berfungsi dengan
baik. Darah keluar dari tube gaster menunjukkan perdarahan
orofaringeal yang tertelan, insersi yang traumatik, atau cedera traktus
digestif proksimal. Bila dicurigai ada fraktura os kribriformis, tube
gaster harus dipasang melalui rute oral, tidak boleh melalui rute nasal, untuk
mencegah pasase intrakranial.
Serling: Pemasangan tube gaster dapat
merangsang muntah, sehingga justru menyebabkan aspirasi. Alat penghisap
yang berfungsi dengan baik, harus tersedia saat memasang tube gaster.
C. Memonitor Pasien
Dibandingkan dengan penilaian
kualitatif pada survei primer, resusitasi yang adekuat paling baik dinilai
dengan perbaikan parameter fisiologi, misalnya frekuensi nadi, tekanan darah,
tekanan nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, produksi urin, dan analisis gas
darah arterial. Nilai parameter-parameter tersebut harus
diperoleh sesegera mungkin setelah survei primer selesai, diikuti
reevaluasi secara periodik.
1.
Frekuensi Pernapasan dan Analisis Gas Darah. Respirasi yang adekuat dimonitor
dengan pemeriksaan ini. Tube
endotrakeal dapat terlepas pada perubahan posisi pasien.
Serling: Pasien dapat mencabut sendiri tube
yang terpasang, menggigit balon tube, menutup tube endotrakeal, sehingga
reevaluasi sangat penting.
2.
Oksimetri Pulsus. Alat
ini mengukur saturasi oksigen pada hemoglobin secara terus-menerus.
Serling: Sensor oksimeter pulsus jangan
dipasang didistal manset tekanan darah. Hasilnya harus dikonfirmasi
dengan analisis gas darah arterial. Bila tidak sesuai, maka berarti ada
kerusakan pada salah satu determinan.
3.
Tekanan Darah harus
selalu dimonitor, dengan pengertian bahwa ia tidak memberi gambaran yang tepat tentang
perfusi jaringan.
Serling: Hemodinamika pasien cedera
dipastikan kembali normal bukan hanya dari tekanan darah. Khususnya pada
usia lanjut, dipertimbangkan untuk memasang monitor fungsi jantung secara
invasif (monitor CVP).
D. Sinar-X dan Penunjang
Diagnostik Lain
Sinar-X dimanfaatkan dengan penuh
pertimbangan, dan tidak boleh menghambat resusi-tasi. Foto toraks
AP dan foto AP pelvis dapat memberi informasi yang mengarahkan penilaian pasien
trauma tumpul. Foto toraks dapat mendeteksi kelainan yang berpotensi
mengancam jiwa, sedang foto pelvis dapat menunjukkan fraktura pelvis yang
memerlukan transfusi. Foto servikal lateral dapat mendeteksi
fraktura, dan hasil negatif atau foto yang tidak adekuat belum memastikan tidak
ada cedera mielum servikal..
Pada survei sekunder, foto spinal
servikal dan torakolumbal diperlukan bila keadaan pasien baik dan mekanisme
cedera membuat kita mencurigai kemungkinan cedera spinal. Imobilisasi
spinal yang sudah dilakukan pada survei primer tetap dipertahankan. Foto
pada bagian-bagian yang dicurigai ada cedera harus dilakukan.
Foto-X diagnostik yang esensialbukan kontraindikasi pada kehamilan.
Lavase peritoneal diagnostik dan USG
abdomen sangat bermanfaat untuk mendeteksi dengan cepat perdarahan
intraabdomen, sehingga keputusan untuk menghentikan perdarahan dengan
intervensi bedah dapat segera diambil.
Serling: Masalah teknis yang menyulitkan
prosedur diagnostik seperti obesitas dan gas intralumen usus dapat terjadi,
sehingga diperlukan prosedur diagnostik lain. Dokter bedah yang mengelola
pasien harus dilibatkan dalam proses evaluasi, untuk mengarahkan prosedur
diagnosis dan terapi lebih lanjut.
Survei
Sekunder
Survei sekunder tidak dimulai sebelum
survei primer (ABCDE) diselesaikan, resusitasi dilakukan, dan pasien
menunjukkan pulihnya fungsi vital.
A. Anamnesis
Penilaian
medik yang lengkap, selalu menyertakan riwayat tentang mekanisme trauma.
Sering anamnesis ini tidak dapat diperoleh dari pasiennya. Petugas
penolong prarumahsakit dan keluarga pasien mungkin dapat memberi informasi yang
menjelaskan bagaimana perubahan fisiologi pasien trauma dapat terjadi.
Informasi yang diperlukan dapat diingat dengan mnemonik AMPLE (Allergy,
Medications, Past illnesses/ Pregnancy,Lastmeal, Events).
Mekanisme
trauma sangat mempengaruhi cedera yang munngkin terjadi. Cedera dapat
diprediksi dari arah trauma dan besarnya energi. Secara garis
besar, dapat terjadi:
1.
Trauma Tumpul,
akibat tabrakan kendaraan bermotor,
jatuh, atau cedera yang ber-hubungan dengan sarana transportasi, rekreasi, dan
kecelakaan kerja, sesuai kelompok umur dan aktivitas yang dilakukan.
2.
Trauma Penetrans
terdiri
dari trauma tembak atau trauma tusuk, saat ini frekuen-sinya makin meningkat
khususnya di kota-kota besar.
3.
Kombustio dan cedera akibat hawa dingin.
Luka bakar dapat
berdiri sendiri atau bersamaan dengan trauma lain. Perlu dikuasai
pertolongan pertamanya yaitu meliputi trauma inhalasi, resusitasi cairan, dan
ancaman jiwa akibat gangguan irama jantung dan mioglobinemia pada luka bakar
listrik, serta sistem rujukan sesuai tingkat, jenis, dan luas kombustionya.
4.
Lingkungan yang berbahaya
meliputi
paparan terhadap zat kimia berbahaya, toksin, dan radiasi.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
dari puncak kepala sampai ke ujung jari kaki secara teliti, sistematis,
berurutan: “From head
to toe, fingers and tubes in every orifice”. Dilakukan
inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi, sesuai dengan regio yang diperiksa
(bisa disederhanakan menjadi look,
listen, feel misalnya pada
wajah; atau look, feel, move misalnya pada ekstremitas).
Diperiksa secara lembut (gentle), mencari kelainan dengan mnemonik DCAP-BTLS (deformities, contusions,
abrasions, penetrations, burns, tenderness, lacerations, swellings).
Urutannya ialah pemeriksaan kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen,
perineum/rektum/vagina, muskuloskeletal, dan pemeriksaaan
neurologi. Untuk memeriksa bagian posterior trunkus, diperlukan
manuver log-rolling,
yaitu menggulingkan pasien seperti sebuah balok kayu. Perlu diperhatikan
imobilisasi servikal, serta gerak pelvis dan bahu yang bersamaan. Daerah
leher dan torakolumbal adalah bagian yang perlu diproteksi dengan baik, jangan
sampai terjadi pasien yang semula tidak ada kelainan neurologinya, menjadi
lumpuh setelah manipulasi yang salah.
Serling:
1. Edema
fasial atau pasien koma akan menyulitkan pemeriksaan mata.
2. Beberapa
fraktura maksilofasial (fraktura os nasal, zygoma, orbita) sulit didiagnosis.
3. Trauma
tumpul pada leher mungkin menyebabkan cedera yang gejalanya timbul kemudian,
misalnya pada ruptura intima arteri karotis. Identifikasi cedera
radiks saraf servikal atau pleksus brakialis sulit pada pasien
koma. Dekubitus cepat berkembang pada pasien yang diimobilisasi
pada long spine board lebih dari dua jam.
4. Pasien
usia lanjut mudah mengalami insufisiensi respirasi pada trauma toraks yang
relatif ringan. Anak sering mengalami cedera struktur intratorakal tanpa
fraktura kosta.
5. Fraktura
pelvis tidak boleh dimanipulasi berlebihan, karena itu penting menilai foto
pelvis. Cedera organ retroperitoneal dan organ berongga sering sulit
diidentifikasi.
6. Ruptura
uretra pada wanita jarang dijumpai kecuali pada fraktura pelvis atau cedera
kelangkang (straddle injury). Sulit menilai kehamilan dini.
7. Fraktura
pelvis sering menyebabkan perdarahan yang fatal, sulit untuk dihentikan.
Fraktura tangan dan pergelangannya, fraktura pedis, sering luput dari diagnosis
di UGD. Demikian pula cedera jaringan lunak sekitar sendi.
8. Kenaikan
tekanan intrakranial dapat menurunkan tekanan perfusi serebral, yang mungkin
menyebabkan kerusakan otak sekunder. Sebagian besar prosedur terapi
dan diagnostik pada cedera kepala, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial
(misalnya: intubasi) sehingga harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.
Meskipun semua pertolongan sudah diberikan, tetap ada kemungkinan terjadi
perburukan status neurologi secara tiba-tiba pada pasien cedera kepala.
Gejala trauma dibagi menjadi empat
kategori. Seseorang yang mendapat pengalaman traumatis akan memperlihatkan
beberapa gejala dan kombinasinya. Gejala-gejala yaitu:
- Memutar kembali peristiwa traumatis seperti. Seseorang yang mengalami trauma sering merasa peristiwanya terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin mempunyai gambaran mental di kepalanya tentang trauma, mengalami mimpi buruk, atau bahkan mungkin mengalami halusinasi tentang trauma. Gejala ini sering menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang” dan bereaksi seolah-olah mereka mengalaminya seperti awal trauma terjadi. Contoh, beberapa tahun kemudian seorang anak akibat penganiayaan mungkin akan bersembunyi gemetaran di closet bila merasa ketakutan, meskipun ketakutan itu tidak berhubungan dengan penganiayaan.
- Penghindaran. Seseorang yang mengalami trauma berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan, termasuk juga bersikap dingin untuk menghindari rasa sakit, perasaan yang berlebihan. Membekukan pikiran dan perasaan akibat trauma disebut juga ”disasociation” dan merupakan karakteristik trauma.
- Pelampiasan. Seseorang yang menderita trauma kadang mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok untuk menghindari ingatan-ingatan dan perasaan yang berhubungan dengan trauma. Dengan mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok memang mereka dapat merasa tenang, tetapi hal itu sifatnya hanya sementara.
- Pemicu. Gejala-gejala pemicu psikologis dan fisiologis sangat berbeda-beda pada orang-orang dengan trauma. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia, atau mimpi buruk. Mereka akan terlihat terus menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan trauma akan mengalami panic attack yang dibarengi dengan nafas yang pendek dan sakit di bagian dada.
- Perasaan bersalah. Sering seseorang merasa bersalah tentang apa yang telah terjadi dan mereka salah meyakini bahwa mereka pantas untuk disalahkan atau pantas mendapatkan hukuman.
Setiap orang dapat mengembangkan trauma, tidak peduli dia
laki, perempuan, anak-anak, tua dan muda. Korban trauma yang berhubungan dengan
serangan fisik dan seksual menghadapi resiko yang besar berkembang menjadi
trauma. Wanita dua kali lebih besar mengembangkan trauma dari pada laki-laki.
Hal ini mungkin disebabkan karena fakta bahwa wanita lebih emosional dibanding
pria. Peristiwa yang berpotensi menyebabkan trauma antara lain:
- Menyaksikan sebuah peristiwa kekerasan atau mengerikan, atau berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
- Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
- Perkosaan atau pelecehan seksual
- Serangan tiba-tiba atau pembajakan
- Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
- Kecelakaan mobil atau kebakaran
- Bencana alam, seperti gempa bumi
- Kejadian kecelakaan besar, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
- Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan industri.
- Veteran perang atau korban perang sipil.
- Kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau orang yang dicintai.
- Orang yang ditinggal atau dihianati oleh orang dekat.
- Dan seterusnya...
1. Kejadian Traumatis Karena Dikianati Pacar
Sebut saja, Ani, wanita 28 tahun di sebuah kota di Jawa
Timur, menceritakan pengalaman traumatisnya yang terjadi lebih dari 3 tahun
yang lalu. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya yang
’9baru sadar bahwa kekasihnya itu sudah beristri. Ia
telah menyerahkan segalanya kepada kekasihnya ini, karena kekasihya berjanji
akan menikahinya. Suatu peristiwa klien saya hamil dan oleh kekasihnya disuruh
untuk menggugurkan kandungannya. Dan Klien saya mengambil resiko dengan
nyawanya untuk menggugurkan calon bayi yang ada dalam kandungannya itu. Tapi
sayang, setelah kekasihnya lalu meninggalkannya begitu saja.
Sejak saat itu Klien saya mengalami depresi selama hampir
tiga tahun lebih akibat trauma masa lalu dengan kekasihnya itu. Namun ia
tidak menceritakan apakah traumanya itu sudah menimbulkan rasa sakit pada tubuh
fisiknya.
Begitu banyak hal, kenangan dan benda-benda yang
mengingatkannya kembali pada kekasihnya, seperti bila melihat mobil Zenia ia
akan teringat kekasihnya, bila melihat kalender, pakaian, ia akan teringat
kekasihya, bila malam tiba ia juga teringat ketika kekasihnya sering datang ke
kostnya dan mengobrol bersama teman-teman kostnya, ia teringat prosesi waktu
menggugurkan kangdungannya,dll.
Ia mengatakan dalam sehari bisa lebih dari 10 kali ia
teringat akan kekasihnya itu. Bila trauma itu datang, maka di situ berkumpul
kebencian, penyesalan, dendam, amarah, dan kekecewaan, dan ia akan mengirim sms
kepada kekasihya sebagai ungkapan kemarahanya.
Saya melakukan terapi dengan EFT untuk menghapus memori
traumatis itu pada aspek-aspek-aspek yang membuatnya depresi. Sempat klien saya
mengalami kesulitan mengingat hal-hal yang membuatnya depresi. Karena itu lalu
saya meminta klien saya untuk segera mencatat ketika timbul hal-hal yang memicu
ingatanya.
Setelah dilakukan tapping pada semua aspek yang ada,
klien saya melaporkan bahwa kini ia merasa lebih tenang dan dapat mengendalikan
emosinya untuk tidak mengirim sms ke kekasihya itu. Ia juga mengatakan sekarang
ia tidak merasa sakit hati lagi.
Depresi yang dialami klien saya ini tidak hanya datang
dari trauma masa lalunya, tapi juga rencana perkawinannya yang akan
dilangsungkan satu bulan lagi. Ketakutan-ketakutan datang membayangi klien saya
untuk menghadapi kehidupan bersama calon suaminya nanti. Beberapa ketakutannya
seperti takut trauma masa lalunya akan mempengaruhi hubungan perkawinanya,
klien saya tidak mencintai calon suaminya karena ia menikah atas kemauan orang
tua, takut menghadapi malam pertama karena tidak ada hasrat seks kepada calon
suaminya, beberapa bentuk fisik dari calon suami tidak ia sukai. Karena itu
saya lakukan tapping pada aspek-aspek di atas.
setelah pesta perkawinan dilangsungkan, saya menunggu kabar dari klien saya pada keesokan harinya. Dan malam harinya klien saya memberi kabar bahwa baru besok malam ia akan menjalani malam pertama bersama suaminya. Ia mengatakan mohon dibantu doa. Dua bulan kemudian saya mencoba untuk menanyakan kabar dan keadannya. Klien saya mengatakan bahwa kehidupan perkawinan bersama suaminya dalam keadaan baik dan kini mereka sedang fokus untuk mendapatkan momongan serta mengembangkan usaha suaminya.
2. Trauma dibalik derita sakit kepala dan insomnia
bertahun-tahun
Kita akan melihat bahwa derita fisik sering merupakan
efek lanjutan dari masalah emosional.
Hendi, pria 25 tahun, mengeluhkan sakit kepalanya yang
intens yang ia derita setiap hari. Menurutya sakit kepalanya karena ia selalu
kurang tidur atau insomnia. Saya mencoba melakukan tapping EFT pada aspek sakit
kepalanya. Sesi tapping pertama menurukan intensitas sakit kepalanya menjadi 8
dari skala10. Tapping kedua menurunkan intensitas sakit kepalanya menjadi 5.
Tapping ketiga tidak menurunkan intensitas sakit kepalanya.
Lalu saya mulai menggali faktor-faktor emosional yang
mungkin menjadi penyebabnya.
Saya ketahui bahwa klien saya mengalami kepedihan
emosional dari masa lalu dengan kekasihnya pada waktu mereka masih kuliah.
Beberapa faktor utama emosional yang dimiliki klien saya
ini adalah :
- Merasa sangat kehilangan kekasihnya
- Memendam amarah kepada bapak kekasihya
- Teringat saat jalan-jalan bersama kekasihnya
- Merasa hidupnya berantakan gara-gara peristiwa ini
- Teringat kebaika kekasihya
Setelah dilakukan tapping EFT intensitasnya turun menjadi
2 dan sakit kepalanya hanya tersisa sedikit dan hal itu bukan masalah lagi
baginya sebagaimana penuturannya. Seluruh sesi terapi ini berjalan kurang dari
satu jam Walaupun intensitas sakit kepalanya sudah tidak mengganggu lagi, saya
menyarankan klien saya untuk melakukan tapping di rumah untuk menuntaskan
masalah yang mungkin terlewatkan.
Tiga bulan kemudian saya kembali menanyakan kondisi klien
saya ini. Ia melaporkan bahwa sekarang ia dapat tidur dengan baik dan sakit
kepalanya sudah hilang.
3.
Masalah Emosional penderita Migren Puluhan Tahun Hilang Dalam Satu Jam Terapi
Seorang
pasien wanita berumur 40an menderita penyakit migren yang diderita sejak masih
di SMA. Penyakitnya begitu membuatnya menderita yang sangat serius sehingga
tidak dapat berbuat apapun. Sampai-sampai bila penyakitnya datang di bagian
pundaknya timbul bengkak-bengkak, sakit di belakang leher, kedua mata terasa
senut-senut dan pegal sekali. Bolak-balik ke dokter sudah menjadi hal yang
biasa namun tidak melenyapkan penyakitnya.
Saat
saya tangani pasien sedang menderita migraine dan harus berbaring, bagian leher
belakang terasa sakit dan kaku, mata sebelah kiri terasa berat dan mau copot.
Pertama-tama saya tangani untuk aspek penyakit fisiknya. Saya lakukan tapping
dua putaran penuh untuk masalah sakit di leher belakang, dan satu putaran penuh
untuk sakit pada mata kirinya. Sebelum ditapping skala sakitnya 10, dan 0
setelah ditapping.
Lalu
saya melakukan pencarian akar masalah penyebab penyakitnya. Dari penuturan
pasien hal yang menjadi pemicu masalah adalah rasa kesal yang terus disimpan
terhadap suatu masalah. Bila keinginannya tidak terpenuhi, melihat perabotan
rumah tidak teratur merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa kesal.
Saya
lakukan tapping untuk ke dua faktor emosi di atas. Skala emosi antara 6-7, dan
setelah tiga putaran penuh skala emosi menjadi 0. Pengecekan saya lakukan
terhadap emosi dan sakit fisiknya. Pasien mengatakan bahwa ia tidak mengalami
rasa kesal lagi dan kini migren yang diderita hilang sama sekali. Proses terapi
EFT ini memakan kurang lebih satu jam dn tidak memerlukan alat bantu atau
obat-obatan.
4.
Phobia Kecoa
Anak
saya Kinanty, 9 tahun, sangat takut dengan kecoa, kalau Ia sedang ke dapur dan
melihat kecoa ia langsung ngibrit lari dan memanggil mbaaaaaahhhh…ada
kecoaaaaaa. Begitupun bila Ia mendapati kecoa di kamar mandi Ia langsung lari.
Pengalaman itu membuat Ia takut bila ingin mengambil piring ke dapur atau ke
kamar mandi.
Saya
coba lakukan tapping pada anak saya terhadap rasa takut pada kecoa. Saya
memintanya untuk mengikuti setup word yang saya ucapkan dan memintanya
membayangkan kecoa ketika saya tapping. Satu putaran tidak membuat hilang
takutnya pada kecoa. Saya ketahui ini ketika saya memintanya untuk membayangkan
kecoa dan Ia mengatakan masih takut. Lalu saya coba gali lebih spesifik dengan
menanyakan pengalaman dengan kecoa yang pernah Ia alami. Anak saya mengatakan
takut bila melihat kecoa terbang. Lalu saya lakukan tapping dengan aspek
tersebut. Setelah itu saya meminta Ia membayangkan kembali kecoa yang terbang
tapi ia mengatakan masih takut. Saya tanyakan kembali hal apa yang diingat
ketika ia takut melihat kecoa, Anak saya mengatakan ia takut dengan sayap kecoa
ketika terbang. Lalu saya tapping dengan aspek tersebut. Setelah tapping dengan
versi sortcut saya meminta anak saya membanyangkan kembali. Tapi ia masih
merasa takut. Kemudian saya mencoba gali kembali pengalaman yang lalu. Kali ini
anak saya mengatakan dulu sewaktu ia mencuci piring pernah dihinggapi oleh
kecoa. Lalu saya kembali melakukan tapping dengan aspek ini. Setelah saya
meminta membayangkan peristiwa itu kembali ia mengatakan kini ia tidak takut
lagi pada kecoa. Saya mendapati bukti bahwa anak saya sudah hilang takut pada
kecoanya dari laporan ibu saya yang mengatakan bahwa anak saya sudah tidak lari
ataupun bereakti ketika ada kecoa di dapur dan kamar mandi.
5.
Panic Attack
Beberapa
orang mengalami serangan panik yang sangat membuatnya menderita. Kebanyakan
mereka pergi ke dokter dan hanya diberikan obat untuk menghilangkan
gejala-gejala fisik yang diakibatkan oleh serangan panik tersebut tanpa tidak
menyentuh akar masalahnya.
Berikut cerita seorang pasien yang diterapi untuk panic attact yang dideritanya.
Seorang anak muda (15thn) saat itu sedang menderita serangan panic (panic attact) lebih dari tiga tahun. Orang tuanya telah melakukan berbagai macam cara untuk menyembuhkannya dan tidak ada hasilnya. Saya melakukan kunjungan ke pasien untuk memberikan terapi masalahnya.
Pasien menceritakan bahwa serangan panic muncul pada pagi hari. Pada saat itu ia merasakan sakit di bagian perut dan disertai sakit kepala. Hal ini membuatnya tidak dapat bicara. Dia juga menelan obat tidur untuk membantunya untuk bisa tidur.
Saya memberikan keterangan singkat tentang apa yang akan saya lakukan padanya. Ia merasa tidak percaya dengan terapi yang saya lakukan akan dapat melenyapkan masalahnya. Tapi saya bilang padanya tidak ada salahnya dicoba.
Saya memintanya untuk memberikan skala intensitas rasa sakit pada bagian perutnya. Dia mengatakan 8. Tapping dua putaran penuh membuat rasa sakit di bagian perutnya turun menjadi 5. Dan dua putaran berikutnya membuat rasa sakitnya turun menjadi 1. Dia merasakan nyaman dengan perutnya. Lalu saya melakukan tapping untuk sakit kepalanya yang awalnya pada intensitas 5 turun hingga 0.
Lalu saya menuju pada perasaan panic yang menyerang setiap pagi. Pasien mencoba merasakan paniknya tapi tidak dapat meskipun ia sudah berusaha. Ia merasa senang dan begitu pula dengan orang tuanya.
Berikut cerita seorang pasien yang diterapi untuk panic attact yang dideritanya.
Seorang anak muda (15thn) saat itu sedang menderita serangan panic (panic attact) lebih dari tiga tahun. Orang tuanya telah melakukan berbagai macam cara untuk menyembuhkannya dan tidak ada hasilnya. Saya melakukan kunjungan ke pasien untuk memberikan terapi masalahnya.
Pasien menceritakan bahwa serangan panic muncul pada pagi hari. Pada saat itu ia merasakan sakit di bagian perut dan disertai sakit kepala. Hal ini membuatnya tidak dapat bicara. Dia juga menelan obat tidur untuk membantunya untuk bisa tidur.
Saya memberikan keterangan singkat tentang apa yang akan saya lakukan padanya. Ia merasa tidak percaya dengan terapi yang saya lakukan akan dapat melenyapkan masalahnya. Tapi saya bilang padanya tidak ada salahnya dicoba.
Saya memintanya untuk memberikan skala intensitas rasa sakit pada bagian perutnya. Dia mengatakan 8. Tapping dua putaran penuh membuat rasa sakit di bagian perutnya turun menjadi 5. Dan dua putaran berikutnya membuat rasa sakitnya turun menjadi 1. Dia merasakan nyaman dengan perutnya. Lalu saya melakukan tapping untuk sakit kepalanya yang awalnya pada intensitas 5 turun hingga 0.
Lalu saya menuju pada perasaan panic yang menyerang setiap pagi. Pasien mencoba merasakan paniknya tapi tidak dapat meskipun ia sudah berusaha. Ia merasa senang dan begitu pula dengan orang tuanya.
6.
Takut pada kegelapan
Seorang
pasien menghubungi saya untuk meminta diterapi. Ia mengatakan mengalami rasa
takut bila ingin ke kamar mandi. Saya katakan padanya bahwa ia mengalami fear
of darkness atau rasa takut di tempat gelap. Ia mengatakan bahwa ia merasa
seolah-olah akan diserang oleh seseorang di rumahnya sendiri, terutama ketika
ia ingin pergi ke kamar mandi. Ia tidak dapat tidur dan merasa kawatir bila
tidur dengan kondisi lampu mati. Dan bila ia ingin ke kamar mandi semua lampu
di rumah harus menyala. Atau kalau tidak ia akan memilih untuk tetap di kamar
tidurnya dan menjalani malamnya dengan penderitaan.
Saya hanya melakukan satu kali sesi dengan empat putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan tapping pada bebeapa masalah emosional yang menjadi penyebabnya. secara keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu kurang dari satu jam dan kini pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus menyalakan semua lampu di rumah.
Berhati-hatilan dengan segala informasi yang masuk kepada anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll. Karena bila sistim keyakinan anda memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang anda takutkan. Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan tergantung dengan obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu daya ingat anda.
Saya hanya melakukan satu kali sesi dengan empat putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan tapping pada bebeapa masalah emosional yang menjadi penyebabnya. secara keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu kurang dari satu jam dan kini pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus menyalakan semua lampu di rumah.
Berhati-hatilan dengan segala informasi yang masuk kepada anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll. Karena bila sistim keyakinan anda memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang anda takutkan. Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan tergantung dengan obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu daya ingat anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar