Rabu, 16 Januari 2013

makalah patologi

BAB I
Pendahuluan
A.    Latar belakang
Trauma adalah penyebab kematian utama pada usia di bawah 44 tahun di Amerika Serikat.  Di Indonesia, trauma menjadi penyebab kematian utama pada kelompok umur 15 – 24 tahun, dan nomor 2 pada kelompok usia 25 – 34 tahun bersama dengan kematian ibu hamil.  Umumnya, penyebabnya ialah kecelakaan lalulintas, diikuti jatuh, luka bakar, dan karena kesengajaan (usaha pembunuhan atau kekerasan lain, dan bunuh diri). Salah satu perintis pelayanan kedaruratan medik termasuk kasus trauma adalah Dr. Adams R. Cowley.  Beliau berpendapat, terlalu banyak kematian sia-sia pada kasus trauma karena penanganan yang kurang tepat.   Dari beliau muncul konsep The golden hour dan sejak 1961 dirintisnya pendirian Shock Trauma Center di University of Maryland, Amerika Serikat (AS), bekerja sama dengan US Army.  Bersama Maryland State Police, beliau menyusun sistem pelayanan kedaruratan medik termasuk penggunaan helikopter sebagai sarana transportasi.   Salah satu hasil jerih payah beliau ialah diberlakukannya Sistem Pelayanan Kedaruratan Medik (EMSS) secara nasional di AS pada tahun 1973.
Pada Perang Dunia II, Perang Korea, dan Perang Vietnam telah terbukti bahwa pertolongan sebelum korban tiba di rumah sakit oleh petugas kesehatan lapangan non-dokter, dapat meningkatkan harapan hidup korban trauma.   Pada tahun 60-an di AS mulai dilatih petugas ambulans dari personil non-medik, namun baru pada 1984 Departemen Perhubungan di AS membakukan kurikulum 110 jam untuk melatih petugas ambulans (EMT-A:  Emergency Medical Technician – Ambulance).

Pelatihan Advanced Trauma Life Support (ATLS) dimulai pada tahun 1980 di Alabama, AS, dan atas prakarsa Dr. Aryono D. Pusponegoro, Ketua Komisi Trauma Ikabi Pusat, mulai 1995 kursus ATLS terselenggara di Indonesia. Beliau juga merintis pelayanan Ambulans 118 di Sunter, Jakarta, yang sampai sekarang sangat aktif menyelenggarakan kursus-kursus pertolongan prarumahsakit  untuk awam, awam khusus (petugas Pemadam Kebakaran, anggota Satpam, anggota Pramuka, Polisi, petugas SAR), dan perawat-perawat.   Melalui sistem akreditasi rumah sakit, Departemen Kesehatan RI berusaha membakukan pelayanan kedaruratan medik di rumah sakit.   Pelayanan ambulans yang di Indonesia umumnya berbasis rumah sakit, sampai sekarang belum dibakukan secara nasional, meskipun secara rutin berbagai pusat pendidikan kedokteran sudah melakukan pelatihan-pelatihan petugas ambulans.


Mengenal Konsep Advanced Trauma Life Support

Kematian karena trauma terjadi pada salah satu dari tiga periode:
Detik-detik sampai menit-menit pertama 
setelah trauma, disebabkan karena cedera pada otak, medula spinalis terutama pada segmen atas, dan cedera jantung atau pembuluh darah besar.   Sangat sedikit korban trauma semacam ini yang bisa diselamatkan.  Yang bisa dilakukan ialah mencegah kejadiannya, misalnya dengan peraturan-peraturan keselamatan kerja, peraturan di bidang transportasi termasuk peraturan lalulintas, peraturan tentang pemilikan dan penggunaan senjata api maupun senjata tajam, penyediaan lapangan kerja, tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan warga negara, terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat,  serta tegaknya hukum.
Menit-menit sampai jam pertama 
setelah trauma, disebabkan oleh perdarahan subdural atau epidural, pneumo/hematotoraks, ruptura lien, laserasi hepar, fraktura pelvis, dan cedera lain yang menyebabkan perdarahan.   Penilaian cepat disusul dengan resusitasi segera menurut prinsip-prinsip ATLS, difokuskan pada cedera jenis ini.
Beberapa hari sampai beberapa minggu 
setelah trauma, paling sering disebabkan oleh sepsis atau kegagalan faal multi organ.   Hal ini dapat dicegah bila pertolongan sejak dari tempat kejadian sampai terapi definitif dilakukan secara optimal.

Konsep dasar ATLS yang semula sulit diterima, saat ini sudah menjadi prosedur baku yang berlaku di seluruh dunia, bahkan untuk kasus-kasus non-trauma.  Konsep tersebut adalah:
Pendekatan ABCD pada penilaian maupun terapi.
Atasi keadaan yang paling mengancam jiwa terlebih dahulu.
Diagnosis definitif tidak penting pada fase awal.
Waktu berperan amat penting.
Jangan menambah cedera pasien (Do no further harm).

Cedera membunuh dengan pola tertentu:   tersumbatnya jalan napas membunuh lebih cepat daripada gangguan pernapasan; gangguan pernapasan membunuh lebih cepat daripada kehilangan volume darah beredar;  selanjutnya massa intrakranial yang makin membesar adalah masalah letal yang berikutnya.   Karena itu, urut-urutan prioritas evaluasi dan intervensi kasus trauma mengikuti mnemonik ABCDE sebagai berikut:

A  – Airway: Jalan napas disertai proteksi servikal.
B  – Breathing: Pernapasan disertai ventilasi.
C  – Circulation: Sirkulasi disertai kontrol perdarahan eksternal.
D  – Disability: Menilai dan mengatasi gangguan saraf pusat.
E  – Exposure/Environment: Membuka pakaian pasien dan mengontrol suhu.

Yang perlu diperhatikan dan dilakukan di tempat kejadian trauma ialah:
1. Keamanan petugas dan pasien, termasuk perlindungan petugas dari penyakit menular akibat terkontaminasi cairan tubuh atau darah pasien.
2. Menilai situasi tempat kejadian dan menentukan perlu bantuan misalnya pemadam kebakaran, alat ekstrikasi khusus maupun alat transportasi khusus, petugas perusahaan listrik, jumlah pasien banyak sehingga perlu tambahan ambulans dan personilnya, perlunya kehadiran dokter khususnya untuk melakukan triase (pemilahan).
3. Memperkirakan cedera yang mungkin terjadi dari mekanisme traumanya.
4. Menggunakan pendekatan survei primer untuk mengidentifikasi ancaman jiwa.   Tentukan prioritas evakuasi berdasarkan adanya ancaman jiwa atau ancaman ekstremitas.  Hati-hati pada pasien pediatri, geriatri, atau gravida.
5. Menjaga jalan napas terbuka disertai proteksi servikal. Pemasangan jalan napas definitif dilakukan pada pasien yang terancam jalan napasnya dan yang memerlukan ventilasi.   Yang sering terjadi ialah cedera maksilofasial, trauma kapitis dengan GCS <8, pernapasan yang tidak efektif (terlalu lambat sampai apnea, atau terlalu frekuen dan dangkal).  Bila intubasi sulit dan jarak ke rumah sakit rujukan dekat, pertimbangkan krikotiroidotomi jarum untuk insuflasi kalau ventilasi dengan sungkup dan jalan napas orofaringeal gagal.
6. Ventilasi normal pada dewasa 12 – 20 kali per menit harus terjamin.  Pada bradipnea atau takipnea disertai pernapasan dangkal, diperlukan ventilasi dan oksigenasi menggunakan bag-valve-mask (kantung-katup-sungkup) disertai suplemen oksigen.  Semua pasien trauma yang terancam jiwanya memerlukan tambahan oksigen.  Bila tersedia, monitor oksimetri pulsus sangat membantu.   Luka terbuka pada dinding toraks ditutup kedap udara dengan balutan tiga sisi, dan pneumotoraks tension didekompresi dengan torakosentesis jarum pada sela iga kedua linea medioklavikularis.
7. Menghentikan perdarahan eksternal dengan membalut-tekan.  Pemberian cairan dilakukan hanya setelah perdarahan eksternal dihentikan.
8. Atasi syok dengan pencegahan hipotermia dan pembidaian fraktura. Bila ada ancaman jiwa, imobilisasi dengan long spine board sangat bermanfaat.  Kecuali untuk fraktur femur yang idealnya memerlukan bidai traksi.
9. Jaga stabilisasi spinal secara manual sampai pasien dapat diimobilisasi denganlong spine board. Ini terutama penting pada trauma penetrans disertai defisit neurologi, atau trauma kapitis dengan GCS < 15 atau defisit neurologi.
10. Pasien cedera kritis dalam waktu 10 menit sudah harus ditransportasikan kerumah sakit rujukan, agar Golden Period tidak terlampaui.
11. Cairan intravena yang hangat, diberikan dalam perjalanan ke rumah sakit rujukan.Sasarannya ialah tekanan darah sistolik 80 – 90 mmHg.
12. Anamnesis terinci dan survei sekunder hanya dilakukan setelah masalah yang mengancam jiwa teratasi atau disingkirkan kemungkinannya.
13. Jangan membuat keadaan pasien lebih buruk (Do no further harm).


Survei Primer

Fungsi vital pasien harus dinilai dengan cepat dan efisien.   Pengelolaan pasien terdiri dari evaluasi primer secara cepat, resusitasi fungsi-fungsi vital, penilaian sekunder yang lebih terinci, kemudian diakhiri dengan terapi definitif.
Keadaan yang mengancam jiwa diidentifikasi dan diatasi menurut prioritas (Airway: jalan napas disertai proteksi servikal); (Breathing: pernapasan disertai ventilasi), C (Circulation: sirkulasi disertai membalut-tekan perdarahan eksternal), (Disability:  status neurologi, E(Exposure/Environment: membuka pakaian pasien, dengan mencegah hipotermia).
Meskipun urutan prioritasnya sama dengan orang dewasa, namun kita harus lebih berhati-hati pada kekhususan pasien pediatri (anatomi jalan napas, cadangan fisiologis yang sangat besar terhadap kehilangan darah, kelenturan tulang, mudah kehilangan panas tubuh)pasien gravida (perubahan anatomi dan fisiologi pada gravida, menilai segera keadaan fetus setelah resusitasi ibu khususnya untuk adanya fetal distres pada ibu yang belum jelas tanda syoknya), dan pasien geriatri (cadangan fisiologi sudah menurun, komorbiditas terutama penyakit vaskuler, diabetes, kelainan jantung kongestif maupun koroner).


A. Jalan Napas Terbuka, Disertai Proteksi Servikal
Penilaian inisial pasien trauma, diawali dengan memastikan bahwa jalan napas terbuka.   Hal ini dicapai dengan melakukan inspeksi mencari adanya benda asing, fraktura tulang wajah, mandibula, atau trakea yang menyumbat jalan napas.  Membuka jalan napas dilakukan dengan manuver chin lift atau jaw thrust, sambil memproteksi vertebra servikal.  Bila ada komunikasi verbal dengan pasien, dapat dianggap jalan napas saat itu bebas, namun jangan dilupakan reevaluasi.
Pasien cedera kepala berat dengan GCS < 8 atau pasien dengan respons motorik buruk, biasanya memerlukan pemasangan jalan napas definitif.   Pada bayi dan anak, perlu dikuasai kekhususan anatomi maupun alat-alatnya.
Perlu selalu diingat, bahwa cedera spinal servikal perlu diwaspadai pada cedera multisistem terutama bila kesadarannya menurun  atau ada trauma tumpul di kranial klavikula.
Serling (=pitfalls):  1) Dapat terjadi, di tangan dokter yang berhati-hati dan penuh perhatian pun membuka jalan napas tidak berhasil; 2) Intubasi tidak berhasil setelah pemberian obat relaksan otot, khususnya pada obesitas; 3) Intubasi pada fraktur laring atau transeksi parsial jalan napas yang tidak terdeteksi, menyebabkan transeksi total.   Serling-serling tersebut tidak selalu dapat dicegah, tetapi harus bisa diantisipasi.
B. Pernapasan dan Ventilasi
Jalan napas yang terbuka, tidak menjamin ventilasi yang adekuat.   Pertukaran gas yang adekuat diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan mengeliminasi CO2.   Ventilasi memerlukan fungsi yang adekuat pada paru-paru, dinding toraks, dan diafragma.  Tiap komponen harus diperiksa dan dievaluasi dengan cepat.

Toraks pasien harus terekspos untuk memastikan pengembangan dinding toraks yang normal pada gerak pernapasan, dan untuk mendeteksi adanya cedera dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.  Auskultasi dilakukan untuk memastikan aliran udara di paru-paru.  Perkusi dapat menunjukkan adanya udara atau darah dalam rongga pleura.

Cedera yang dapat dengan cepat mengganggu ventilasi ialah pneumotoraks tension, flail chest disertai kontusi pulmo, hematotoraks masif, dan pneumotoraks terbuka.  Cedera-cedera ini harus terdeteksi pada survei primer.  Hemato/pneumotoraks simpleks, fraktura kosta, dan kontusi pulmo dapat mengganggu ventilasi pada derajat yang lebih ringan, dan biasanya teridentifikasi pada survei sekunder.

Serling: Membedakan masalah ventilasi dari sumbatan jalan napas tidak selalu mudah. 1) Pasien yang jelas-jelas dispnea dan takipnea, bisa memberi kesan adanya sumbatan jalan napas.  Bila penyebabnya pneumotoraks (simpleks atau pun tension), maka intubasi disusul dengan ventilasi menggunakan kantung-katup akan memperburuk keadaan.
2) Bila pasien yang tidak sadar memerlukan intubasi dan ventilasi, tindakan tersebut dapat menyebabkan pneumotoraks sehingga reevaluasi toraks disertai penunjang foto toraks harus dilakukan sesegera mungkin.
C. Sirkulasi dan Membalut-tekan Perdarahan Eksternal
1.  Volume Darah dan Isi  semenit jantung
Perdarahan adalah penyebab kematian yang paling dominan pada kasus cedera, dan di rumah sakit, kematian karena perdarahan ini dapat dicegah dengan terapi yang cepat.  Hipotensi setelah cedera harus dianggap karena hipovolemia, sampai terbukti lain.  Penting sekali menilai status hemodinamika pasien cedera secara cepat dan akurat, dan ini didapat dengan memeriksa kesadaran, warna kulit, dan nadi.
a.      Tingkat kesadaran. 
Bila volume darah beredar berkurang, perfusi otak dapat terganggu sampai menurunkan tingkat kesadaran.   Namun pada pasien yang sadar pun mungkin terjadi kehilangan darah yang cukup banyak.
b.      Warna kulit. 
Pasien yang setelah cedera warna kulitnya merah-jambu khususnya pada wajah  dan ekstremitas, jarang yang kehilangan darah sampai tingkat kritis.  Sebaliknya, wajah yang keabu-abuan disertai ekstremitas yang pucat merupakan tanda nyata suatu hipovolemia.
c.       Pulsus. 
Pulsus pada arteri sentral (femoral atau karotis) perlu dinilai secara bilateral kualitas, frekuensi, dan regularitasnya.  Pulsus pada arteri perifer yang teraba penuh, lambat, dan reguler, biasanya menjadi tanda normovolemia pada pasien yang tidak minum obat penghambat adrenegik beta.   Pulsus yang cepat, pengisian kecil, biasanya suatu tanda hipovolemia, meskipun ada kemungkinan karena sebab lain.  Frekuensi nadi yang normal tidak menjamin bahwa pasiennya dalam keadan normovolemia.  Iregularitas biasanya merupakan peringatan adanya potensi disfungsi jantung.  Pulsus pada arteri sentral yang tidak teraba yang bukan disebabkan oleh faktor lokal, menunjukkan perlunya resusitasi segera untuk memulihkan volume darah yang menurun dan memulihkan isi semenit jantung guna mencegah kematian.
2.   Perdarahan
Perdarahan eksternal diidentifikasi dan dibalut-tekan pada survei primer.
Kehilangan darah dengan cepat melalui perdarahan eksternal, diatasi dengan menekan langsung pada tempat perdarahan, secara manual.  Bidai pneumatik dapat bermanfaat mengontrol perdarahan, dan harus terbuat dari bahan transparan agar perdarahan dapat dimonitor.   Tourniquet hanya digunakan pada keadaan tertentu, misalnya amputasi traumatik, karena akan menggilas jaringan dan menyebabkan iskemia distal.  Penggunaan klem arteri memakan waktu dan mungkin merusak struktur disekitarnya, khususnya vena dan nervus.  Kehilangan darah secara okulta terutama bersumber dari perdarahan ke dalam rongga toraks atau rongga abdomen, perdarahan di jaringan lunak sekitar fraktura tulang panjang yang besar, perdarahan retroperitoneal akibat fraktura pelvis, atau perdarahan akibat trauma penetrans trunkus.

Serling: Trauma mengenai seluruh populasi.   Golongan usia lanjut, anak, atlet, dan mereka yang mempunyai kelainan medik kronik, merespons kehilangan darah dengan cara yang berbeda.
1)  Pasien usia lanjut yang sehat, tidak mampu menaikkan frekuensi denyut jantung merespons kehilangan darah, sehingga hilanglah tanda awal penurunan volume, yaitu takikardia.      Tekanan darah korelasinya sangat kecil dengan isi semenit jantung orang tua.
2)   Sebaliknya, anak-anak mempunyai cadangan fisiologi yang sangat besar menghadapi hipovolemia.  Pada saat keadaan memburuk terjadi, berarti suatu bencana yang gawat.
3)   Atlet terlatih memiliki mekanisme kompensasi yang mirip dengan anak.   Mereka umumnya secara normal dalam keadaan bradikardia, dan pada waktu kehilangan darah tidak menunjukkan tingkat takikardia yang sama dengan orang biasa.
4).   Sering terjadi, anamnesis yang terinci tidak mungkin diperoleh sehingga tidak diketahui penyakit kronik sebelum mengalami trauma, dan obat apa yang digunakan.

Kemampuan mengantisipasi hal yang buruk dan kewaspadaan menghadapi status hemodinamika yang “normal”, tetap diperlukan.
D. Status Neurologi
Penilaian status neurologi dengan cepat dilakukan pada akhir survei primer, dengan menilai tingkat kesadaran serta memeriksa ukuran pupil dan refleks cahaya.   Tingkat kesadarandiperiksa dengan metoda AVPU:
A: Alert; sadar.
V: memberi respons kepada stimulus  vokal
P: memberi respons kepada stimulus nyeri (pain)
U: tidak memberi respons kepada semua stimulus (unresponsive)

Skala koma Glasgow (GCS = Glasgow Coma Scale) adalah penilaian neurologi yang cepat, sederhana, dan penting untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien, tetapi lebih terinci.  Bila tidak bisa dikerjakan pada survei primer, pemeriksaan GCS dilakukan pada survei sekunder yang lebih terinci dan menjadi pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.

Penurunan tingkat kesadaran dapat berarti menurunnya oksigenasi dan/atau perfusi serebral, atau mungkin juga karena cedera serebral secara langsung.   Pada setiap penurunan kesadaran, status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien harus segera direevaluasi.  Penurunan tingkat kesadaran dapat juga diakibatkan oleh alkohol atau obat-obatan.  Bila hipoksia dan hipovolemia dapat disingkirkan, penurunan kesadaran harus dianggap karena cedera susunan saraf pusat sampai terbukti lain.

Serling: Meskipun semua usaha telah dilakukan pada suatu kasus cedera kepala tertutup, status neurologi dapat memburuk, sering kali secara cepat.  Interval lusid yang biasanya terjadi pada hematoma epidural adalah contoh pasien yang “berbicara dan kemudian mati”.   Reevaluasi yang frekuen dapat mengurangi masalah ini, yaitu dengan mendeteksi secepat mungkin perubahan yang terjadi, termasuk menilai dari awal survei primer untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka, ventilasi adekuat, dan perfusi serebral baik.   Konsultasi dini kepada dokter bedah saraf mengoptimalkan pengelolaan.
E. Membuka baju dan Mencegah Hipotermia
Pakaian pasien dibuka seluruhnya, biasanya dengan menggunting bajunya, sehingga tidak ada yang terlewat dalam pemeriksaan dan penilaian.   Jangan lupa menyelimuti pasien setelah pemeriksaan selesai, untuk mencegah hipotermia di UGD.   Cairan intravena harus dihangatkan sebelum diinfuskan.  Suhu ruangan perlu diperhatikan, karena yang terpenting ialah suhu badan pasien, bukan kenyamanan petugas UGD.
Serling: Pasien-pasien cedera mungkin tiba di UGD dalam keadaan hipotermia, dan beberapa diantara mereka yang memerlukan transfusi masif dan resusitasi cairan, menjadi hipotermi meskipun usaha pencegahan sudah dilakukan.  Masalah ini paling baik diatasi dengan menghentikan perdarahan sedini mungkin.  Ini bisa jadi memerlukan intervensi bedah, atau fiksasi eksternal pada fraktura pelvis jenis tertentu. Usaha mengatasi dan mencegah hipotermia adalah komponen resusitasi pada survei primer yang tidak tertinggalkan.


Resusitasi
Resusitasi yang agresif dan mengatasi hal yang mengancam jiwa begitu teridenti-fikasi, adalah hal yang esensial untuk memaksimalkan pertolongan pasien.

A. Jalan Napas
Jalan napas harus selalu terlindungi pada semua pasien trauma, dan diamankan dari gangguan.   Tindakan jaw thrust atau chin lift mungkin sudah cukup.   Jalan napas nasofaringeal dapat dipasang untuk menjaga jalan napas tetap terbuka sebagai terapi inisial pada pasien yang sadar.   Bila pasien tidak sadar dan tidak ada refleks muntah, jalan napas orofaringeal dapat menolong sementara.  Bila ada keraguan apakah pasien mampu menjaga jalan napas tetap terbuka, harus dipasang jalan napas definitif.
B. Pernapasan, Ventilasi, dan Oksigenasi
Jalan napas definitif pada pasien yang mengalami gangguan jalan napas akibat faktor mekanis, masalah ventilasi, atau pasien tidak sadar, diperoleh dengan intubasi endotrakeal, nasal atau oral.   Pembedahan untuk memperbaiki jalan napas dilakukan bila intubasi merupakan kontraindikasi, atau intubasi tidak berhasil.

Pneumotoraks tension akan mengganggu ventilasi maupun sirkulasi secara akut dan dramatis, dan harus segera diatasi dengan melakukan dekompresi.

Setiap pasien cedera, memerlukan suplemen oksigen.  Bila tidak terintubasi, oksigen diberikan melalui masker agar pemberiannya optimal.  Monitor oksimeter pulsus sangat bernilai untuk memastikan saturasi hemoglobin yang adekuat.

C. Sirkulasi
Hentikan perdarahan dengan menekan langsung atau dengan intervensi bedah.
Paling sedikit dipasang dua jalur intravena terdiri dari kateter intravena kaliber besar, mengingat kecepatan pemberian vairan ditentukan oleh diameter sisi dalam kateter dan berbanding terbalik dengan panjangnya.  Kecepatan ini tidak bergantung kepada diameter vena tempat kateter dipasang.  Diutamakan akses vena perifer pada ekstremitas superior.  Vena perifer lain, jalur intraoseus (pada usia < 6 tahun), venaseksi, jalur vena sentral, digunakan menurut kebutuhan, sesuai dengan keterampilan dokter yang mengelola.
Pada waktu memasang jalur intravena, diambil sediaan darah untuk pemeriksaan golongan darah, crossmatch, pemeriksaan hematologi dasar, dan test kehamilan pada wanita usia subur.
Terapi cairan intravena menggunakan cairan kristaloid segera dimulai, diutamakan menggunakan Ringer laktat yang dihangatkan (37 – 40°C) dan diberikan secara cepat.  Pada orang dewasa, bolus cairan ini bisa mencapai 2 – 3 liter sampai ada respons yang memadai.   Pada syok karena perdarahan internal, resusitasi cairan dianjurkan tidak mencapai tekanan darah normal, karena hipotensi dan vasokonstriksi adalah pertahanan tubuh menghadapi syok.  Usaha ditekankan pada membawa pasien secepat mungkin ke tempat terapi definitif.  Pada pasien pediatri, bolus RL 20ml/kgBB dapat diberikan sampai tiga kali.  Setelah bolus kedua bila belum ada respons harus konsult bedah, setelah pemberian bolus yang ketiga diberikan PRC 10ml/kgBB.
Syok pada trauma paling sering akibat hipovolemia.  Bila respons masih belum baik, mungkin diperlukan darah dari golongan yang sesuai.   Syok hipovolemia tidak boleh diatasi dengan obat vasopresor, steroid, bikarbonat, atau dengan terus-menerus memberikan kristaloid dan darah.   Perdarahan yang terus berlanjut, perlu dihentikan dengan intervensi bedah, sambil terus diusahakan mengembalikan volume darah intravaskuler.   Hipotermiadapat terjadi sejak pasien tiba di UGD, atau berkembang dengan cepat di UGD pada pasien yang tidak diselimuti, setelah mendapat kristaloid bersuhu kamar, atau setelah transfusi dengan darah dari almari pendingin.  Hipotermia berpotensi letal, dan harus dicegah dengan agresif.   Suhu kamar resusitasi harus dinaikkan, dan cairan atau darah yang diberikan selalu dihangatkan.
Penunjang pada Survei Primer dan Resusitasi

A.   Elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien trauma memerlukan monitor EKG.  Disritmia (termasuk takikardia yang tidak jelas penyebabnya, fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur, perubahan segmen ST) mungkin disebabkan cedera jantung akibat trauma tumpul.  PEA (pulseless electrical activity) terjadi karena tamponade jantung, pneumotoraks tension, atau hipovolemia yang hebat.  Bila terjadi bradikardia, konduksi aberan, atau denyut prematur, perlu dicurigai adanya hipoksia, hipoperfusi, atau mungkin juga disebabkan oleh hipotermia yang hebat.
B.   Kateter Uretra dan Kateter Lambung
Pemasangan kateter uretra dan kateter lambung ialah bagian dari fase resusitasi.  Sediaan urine harus diperiksa di laboratorium.
Serling: Tercabutnya tiap kateter atau tube yang terpasang pada pasien trauma dapat menjadi malapetaka.  Kesibukan di area resusitasi oleh petugas UGD yang melakukan tindakan diagnosis atau terapi secara simultan, dapat menyebabkan tube terlepas atau ter-geser letaknya. Transportasi di rumah sakit atau antar rumah sakit memberi resiko serupa.

1.      Kateter Uretra. 
Produksi urin menjadi indikator yang sensitif untuk status sirkulasi pasien karena menunjukkan perfusi ginjal, paling baik dipantau dengan memasang kateter uretra ke dalam buli-buli.  Kontraindikasi pemasangan kateter transuretra ialah transeksi uretra, dicurigai bila ditemukan:  1) darah di meatus uretra eksternus; 2) ekimosis perineum; 3) hematoma skrotum; 4) prostat tak teraba atau terletak tinggi pada pemeriksaan colok rektum; 5) fraktura pelvis.  Karena itu, kateter urin tidak boleh dipasang sebelum dilakukan pemeriksaan genitalia dan rektum.   Pada kecurigaan adanya ruptura uretra, harus dilakukan uretrografi retrograd untuk memastikan uretra intak.
Serling: Pemasangan kateter uretra dapat terhambat oleh kelainan anatomi misalnya striktura uretra atau hipertrofi prostat.  Manipulasi berlebihan atau instrumentasi oleh non-spesialis tidak dianjurkan; lebih baik konsultasi dini kepada spesialis urologi.

2.      Tube Gaster. 
Indikasi pemasangan tube gaster ialah mengurangi distensi gaster dan menurunkan resiko aspirasi.  Dekompresi gaster tidak mencegah aspirasi sepenuhnya.Cairan lambung yang kental atau yang semi-solid tidak selalu dapat melalui tube dengan mudah, dan pemasangannya dapat merangsang muntah.   Agar efektif, tube harus dipasang dengan tepat, disambung dengan alat penghisap, dan dipastikan berfungsi dengan baik.   Darah keluar dari tube gaster menunjukkan perdarahan orofaringeal yang tertelan, insersi yang traumatik, atau cedera traktus digestif proksimal.  Bila dicurigai ada fraktura os kribriformis, tube gaster harus dipasang melalui rute oral, tidak boleh melalui rute nasal, untuk mencegah pasase intrakranial.
Serling: Pemasangan tube gaster dapat merangsang muntah, sehingga justru menyebabkan aspirasi.  Alat penghisap yang berfungsi dengan baik, harus tersedia saat memasang tube gaster.
C.   Memonitor Pasien
Dibandingkan dengan penilaian kualitatif pada survei primer, resusitasi yang adekuat paling baik dinilai dengan perbaikan parameter fisiologi, misalnya frekuensi nadi, tekanan darah, tekanan nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, produksi urin, dan analisis gas darah arterial.  Nilai parameter-parameter tersebut harus diperoleh sesegera mungkin setelah survei primer selesai,  diikuti reevaluasi secara periodik.
1.      Frekuensi Pernapasan dan Analisis Gas Darah. 
Respirasi yang adekuat dimonitor dengan pemeriksaan ini.  Tube endotrakeal dapat terlepas pada perubahan posisi pasien.
Serling: Pasien dapat mencabut sendiri tube yang terpasang, menggigit balon tube, menutup tube endotrakeal, sehingga reevaluasi sangat penting.
2.      Oksimetri Pulsus. 
Alat ini mengukur saturasi oksigen pada hemoglobin secara terus-menerus.
Serling: Sensor oksimeter pulsus jangan dipasang didistal manset tekanan darah.  Hasilnya harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah arterial.  Bila tidak sesuai, maka berarti ada kerusakan pada salah satu determinan.
3.  Tekanan Darah harus selalu dimonitor, dengan pengertian bahwa ia tidak memberi gambaran yang tepat tentang perfusi jaringan.
Serling: Hemodinamika pasien cedera dipastikan kembali normal bukan hanya dari tekanan darah.  Khususnya pada usia lanjut, dipertimbangkan untuk memasang monitor fungsi jantung secara invasif (monitor CVP).

D.   Sinar-X dan Penunjang Diagnostik Lain
Sinar-X dimanfaatkan dengan penuh pertimbangan, dan tidak boleh menghambat resusi-tasi.   Foto toraks AP dan foto AP pelvis dapat memberi informasi yang mengarahkan penilaian pasien trauma tumpul.  Foto toraks dapat mendeteksi kelainan yang berpotensi mengancam jiwa, sedang foto pelvis dapat menunjukkan fraktura pelvis yang memerlukan transfusi.   Foto servikal lateral dapat mendeteksi fraktura, dan hasil negatif atau foto yang tidak adekuat belum memastikan tidak ada cedera mielum servikal..
Pada survei sekunder, foto spinal servikal dan torakolumbal diperlukan bila keadaan pasien baik dan mekanisme cedera membuat kita mencurigai kemungkinan cedera spinal.  Imobilisasi spinal yang sudah dilakukan pada survei primer tetap dipertahankan.  Foto pada bagian-bagian yang dicurigai ada cedera harus dilakukan.   Foto-X diagnostik yang esensialbukan kontraindikasi pada kehamilan.
Lavase peritoneal diagnostik dan USG abdomen sangat bermanfaat untuk mendeteksi dengan cepat perdarahan intraabdomen, sehingga keputusan untuk menghentikan perdarahan dengan intervensi bedah dapat segera diambil.

Serling: Masalah teknis yang menyulitkan prosedur diagnostik seperti obesitas dan gas intralumen usus dapat terjadi, sehingga diperlukan prosedur diagnostik lain. Dokter bedah yang mengelola pasien harus dilibatkan dalam proses evaluasi, untuk mengarahkan prosedur diagnosis dan terapi lebih lanjut.


Survei Primer

Fungsi vital pasien harus dinilai dengan cepat dan efisien.   Pengelolaan pasien terdiri dari evaluasi primer secara cepat, resusitasi fungsi-fungsi vital, penilaian sekunder yang lebih terinci, kemudian diakhiri dengan terapi definitif.
Keadaan yang mengancam jiwa diidentifikasi dan diatasi menurut prioritas (Airway: jalan napas disertai proteksi servikal); (Breathing: pernapasan disertai ventilasi), C (Circulation: sirkulasi disertai membalut-tekan perdarahan eksternal), (Disability:  status neurologi, E(Exposure/Environment: membuka pakaian pasien, dengan mencegah hipotermia).
Meskipun urutan prioritasnya sama dengan orang dewasa, namun kita harus lebih berhati-hati pada kekhususan pasien pediatri (anatomi jalan napas, cadangan fisiologis yang sangat besar terhadap kehilangan darah, kelenturan tulang, mudah kehilangan panas tubuh)pasien gravida (perubahan anatomi dan fisiologi pada gravida, menilai segera keadaan fetus setelah resusitasi ibu khususnya untuk adanya fetal distres pada ibu yang belum jelas tanda syoknya), dan pasien geriatri (cadangan fisiologi sudah menurun, komorbiditas terutama penyakit vaskuler, diabetes, kelainan jantung kongestif maupun koroner).


A. Jalan Napas Terbuka, Disertai Proteksi Servikal
Penilaian inisial pasien trauma, diawali dengan memastikan bahwa jalan napas terbuka.   Hal ini dicapai dengan melakukan inspeksi mencari adanya benda asing, fraktura tulang wajah, mandibula, atau trakea yang menyumbat jalan napas.  Membuka jalan napas dilakukan dengan manuver chin lift atau jaw thrust, sambil memproteksi vertebra servikal.  Bila ada komunikasi verbal dengan pasien, dapat dianggap jalan napas saat itu bebas, namun jangan dilupakan reevaluasi.
Pasien cedera kepala berat dengan GCS < 8 atau pasien dengan respons motorik buruk, biasanya memerlukan pemasangan jalan napas definitif.   Pada bayi dan anak, perlu dikuasai kekhususan anatomi maupun alat-alatnya.
Perlu selalu diingat, bahwa cedera spinal servikal perlu diwaspadai pada cedera multisistem terutama bila kesadarannya menurun  atau ada trauma tumpul di kranial klavikula.
Serling (=pitfalls):  1) Dapat terjadi, di tangan dokter yang berhati-hati dan penuh perhatian pun membuka jalan napas tidak berhasil; 2) Intubasi tidak berhasil setelah pemberian obat relaksan otot, khususnya pada obesitas; 3) Intubasi pada fraktur laring atau transeksi parsial jalan napas yang tidak terdeteksi, menyebabkan transeksi total.   Serling-serling tersebut tidak selalu dapat dicegah, tetapi harus bisa diantisipasi.
B. Pernapasan dan Ventilasi
Jalan napas yang terbuka, tidak menjamin ventilasi yang adekuat.   Pertukaran gas yang adekuat diperlukan untuk memaksimalkan oksigenasi dan mengeliminasi CO2.   Ventilasi memerlukan fungsi yang adekuat pada paru-paru, dinding toraks, dan diafragma.  Tiap komponen harus diperiksa dan dievaluasi dengan cepat.

Toraks pasien harus terekspos untuk memastikan pengembangan dinding toraks yang normal pada gerak pernapasan, dan untuk mendeteksi adanya cedera dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi.  Auskultasi dilakukan untuk memastikan aliran udara di paru-paru.  Perkusi dapat menunjukkan adanya udara atau darah dalam rongga pleura.

Cedera yang dapat dengan cepat mengganggu ventilasi ialah pneumotoraks tension, flail chest disertai kontusi pulmo, hematotoraks masif, dan pneumotoraks terbuka.  Cedera-cedera ini harus terdeteksi pada survei primer.  Hemato/pneumotoraks simpleks, fraktura kosta, dan kontusi pulmo dapat mengganggu ventilasi pada derajat yang lebih ringan, dan biasanya teridentifikasi pada survei sekunder.

Serling: Membedakan masalah ventilasi dari sumbatan jalan napas tidak selalu mudah.
 1) Pasien yang jelas-jelas dispnea dan takipnea, bisa memberi kesan adanya sumbatan jalan napas.  Bila penyebabnya pneumotoraks (simpleks atau pun tension), maka intubasi disusul dengan ventilasi menggunakan kantung-katup akan memperburuk keadaan.
2) Bila pasien yang tidak sadar memerlukan intubasi dan ventilasi, tindakan tersebut dapat menyebabkan pneumotoraks sehingga reevaluasi toraks disertai penunjang foto toraks harus dilakukan sesegera mungkin.
C. Sirkulasi dan Membalut-tekan Perdarahan Eksternal
1.  Volume Darah dan Isi  semenit jantung
 Perdarahan adalah penyebab kematian yang paling dominan pada kasus cedera, dan di rumah sakit, kematian karena perdarahan ini dapat dicegah dengan terapi yang cepat.  Hipotensi setelah cedera harus dianggap karena hipovolemia, sampai terbukti lain.  Penting sekali menilai status hemodinamika pasien cedera secara cepat dan akurat, dan ini didapat dengan memeriksa kesadaran, warna kulit, dan nadi.
a.      Tingkat kesadaran. 
Bila volume darah beredar berkurang, perfusi otak dapat terganggu sampai menurunkan tingkat kesadaran.   Namun pada pasien yang sadar pun mungkin terjadi kehilangan darah yang cukup banyak.

b.      Warna kulit.
Pasien yang setelah cedera warna kulitnya merah-jambu khususnya pada wajah dan ekstremitas, jarang yang kehilangan darah sampai tingkat kritis.  Sebaliknya, wajah yang keabu-abuan disertai ekstremitas yang pucat merupakan tanda nyata suatu hipovolemia.
c.       Pulsus.
 Pulsus pada arteri sentral (femoral atau karotis) perlu dinilai secara bilateral kualitas, frekuensi, dan regularitasnya.  Pulsus pada arteri perifer yang teraba penuh, lambat, dan reguler, biasanya menjadi tanda normovolemia pada pasien yang tidak minum obat penghambat adrenegik beta.   Pulsus yang cepat, pengisian kecil, biasanya suatu tanda hipovolemia, meskipun ada kemungkinan karena sebab lain.  Frekuensi nadi yang normal tidak menjamin bahwa pasiennya dalam keadan normovolemia.  Iregularitas biasanya merupakan peringatan adanya potensi disfungsi jantung.  Pulsus pada arteri sentral yang tidak teraba yang bukan disebabkan oleh faktor lokal, menunjukkan perlunya resusitasi segera untuk memulihkan volume darah yang menurun dan memulihkan isi semenit jantung guna mencegah kematian.
2.   Perdarahan
Perdarahan eksternal diidentifikasi dan dibalut-tekan pada survei primer.
Kehilangan darah dengan cepat melalui perdarahan eksternal, diatasi dengan menekan langsung pada tempat perdarahan, secara manual.  Bidai pneumatik dapat bermanfaat mengontrol perdarahan, dan harus terbuat dari bahan transparan agar perdarahan dapat dimonitor.   Tourniquet hanya digunakan pada keadaan tertentu, misalnya amputasi traumatik, karena akan menggilas jaringan dan menyebabkan iskemia distal.  Penggunaan klem arteri memakan waktu dan mungkin merusak struktur disekitarnya, khususnya vena dan nervus.  Kehilangan darah secara okulta terutama bersumber dari perdarahan ke dalam rongga toraks atau rongga abdomen, perdarahan di jaringan lunak sekitar fraktura tulang panjang yang besar, perdarahan retroperitoneal akibat fraktura pelvis, atau perdarahan akibat trauma penetrans trunkus.

Serling: Trauma mengenai seluruh populasi.   Golongan usia lanjut, anak, atlet, dan mereka yang mempunyai kelainan medik kronik, merespons kehilangan darah dengan cara yang berbeda.
1)  Pasien usia lanjut yang sehat, tidak mampu menaikkan frekuensi denyut jantung merespons kehilangan darah, sehingga hilanglah tanda awal penurunan volume, yaitu takikardia.   Tekanan darah korelasinya sangat kecil dengan isi semenit jantung orang tua.
2)   Sebaliknya, anak-anak mempunyai cadangan fisiologi yang sangat besar menghadapi hipovolemia.  Pada saat keadaan memburuk terjadi, berarti suatu bencana yang gawat.
3)   Atlet terlatih memiliki mekanisme kompensasi yang mirip dengan anak.   Mereka umumnya secara normal dalam keadaan bradikardia, dan pada waktu kehilangan darah tidak menunjukkan tingkat takikardia yang sama dengan orang biasa.
4).   Sering terjadi, anamnesis yang terinci tidak mungkin diperoleh sehingga tidak diketahui penyakit kronik sebelum mengalami trauma, dan obat apa yang digunakan.

Kemampuan mengantisipasi hal yang buruk dan kewaspadaan menghadapi status hemodinamika yang “normal”, tetap diperlukan.
D. Status Neurologi
Penilaian status neurologi dengan cepat dilakukan pada akhir survei primer, dengan menilai tingkat kesadaran serta memeriksa ukuran pupil dan refleks cahaya.   Tingkat kesadarandiperiksa dengan metoda AVPU:
A: Alert; sadar.
V: memberi respons kepada stimulus  vokal
P: memberi respons kepada stimulus nyeri (pain)
U: tidak memberi respons kepada semua stimulus (unresponsive)

Skala koma Glasgow (GCS = Glasgow Coma Scale) adalah penilaian neurologi yang cepat, sederhana, dan penting untuk mengetahui perjalanan penyakit pasien, tetapi lebih terinci.  Bila tidak bisa dikerjakan pada survei primer, pemeriksaan GCS dilakukan pada survei sekunder yang lebih terinci dan menjadi pemeriksaan yang bersifat kuantitatif.

Penurunan tingkat kesadaran dapat berarti menurunnya oksigenasi dan/atau perfusi serebral, atau mungkin juga karena cedera serebral secara langsung.   Pada setiap penurunan kesadaran, status oksigenasi, ventilasi, dan perfusi pasien harus segera direevaluasi.  Penurunan tingkat kesadaran dapat juga diakibatkan oleh alkohol atau obat-obatan.  Bila hipoksia dan hipovolemia dapat disingkirkan, penurunan kesadaran harus dianggap karena cedera susunan saraf pusat sampai terbukti lain.

Serling: Meskipun semua usaha telah dilakukan pada suatu kasus cedera kepala tertutup, status neurologi dapat memburuk, sering kali secara cepat.  Interval lusid yang biasanya terjadi pada hematoma epidural adalah contoh pasien yang “berbicara dan kemudian mati”.   Reevaluasi yang frekuen dapat mengurangi masalah ini, yaitu dengan mendeteksi secepat mungkin perubahan yang terjadi, termasuk menilai dari awal survei primer untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka, ventilasi adekuat, dan perfusi serebral baik.   Konsultasi dini kepada dokter bedah saraf mengoptimalkan pengelolaan.
E. Membuka baju dan Mencegah Hipotermia
Pakaian pasien dibuka seluruhnya, biasanya dengan menggunting bajunya, sehingga tidak ada yang terlewat dalam pemeriksaan dan penilaian.   Jangan lupa menyelimuti pasien setelah pemeriksaan selesai, untuk mencegah hipotermia di UGD.   Cairan intravena harus dihangatkan sebelum diinfuskan.  Suhu ruangan perlu diperhatikan, karena yang terpenting ialah suhu badan pasien, bukan kenyamanan petugas UGD.
Serling: Pasien-pasien cedera mungkin tiba di UGD dalam keadaan hipotermia, dan beberapa diantara mereka yang memerlukan transfusi masif dan resusitasi cairan, menjadi hipotermi meskipun usaha pencegahan sudah dilakukan.  Masalah ini paling baik diatasi dengan menghentikan perdarahan sedini mungkin.  Ini bisa jadi memerlukan intervensi bedah, atau fiksasi eksternal pada fraktura pelvis jenis tertentu. Usaha mengatasi dan mencegah hipotermia adalah komponen resusitasi pada survei primer yang tidak tertinggalkan.


Resusitasi

Resusitasi yang agresif dan mengatasi hal yang mengancam jiwa begitu teridenti-fikasi, adalah hal yang esensial untuk memaksimalkan pertolongan pasien.

A. Jalan Napas
Jalan napas harus selalu terlindungi pada semua pasien trauma, dan diamankan dari gangguan.   Tindakan jaw thrust atau chin lift mungkin sudah cukup.   Jalan napas nasofaringeal dapat dipasang untuk menjaga jalan napas tetap terbuka sebagai terapi inisial pada pasien yang sadar.   Bila pasien tidak sadar dan tidak ada refleks muntah, jalan napas orofaringeal dapat menolong sementara.  Bila ada keraguan apakah pasien mampu menjaga jalan napas tetap terbuka, harus dipasang jalan napas definitif.
B. Pernapasan, Ventilasi, dan Oksigenasi
Jalan napas definitif pada pasien yang mengalami gangguan jalan napas akibat faktor mekanis, masalah ventilasi, atau pasien tidak sadar, diperoleh dengan intubasi endotrakeal, nasal atau oral.   Pembedahan untuk memperbaiki jalan napas dilakukan bila intubasi merupakan kontraindikasi, atau intubasi tidak berhasil.
 Pneumotoraks tension akan mengganggu ventilasi maupun sirkulasi secara akut dan dramatis, dan harus segera diatasi dengan melakukan dekompresi.
 Setiap pasien cedera, memerlukan suplemen oksigen.  Bila tidak terintubasi, oksigen diberikan melalui masker agar pemberiannya optimal.  Monitor oksimeter pulsus sangat bernilai untuk memastikan saturasi hemoglobin yang adekuat.

C. Sirkulasi
Hentikan perdarahan dengan menekan langsung atau dengan intervensi bedah.
Paling sedikit dipasang dua jalur intravena terdiri dari kateter intravena kaliber besar, mengingat kecepatan pemberian vairan ditentukan oleh diameter sisi dalam kateter dan berbanding terbalik dengan panjangnya.  Kecepatan ini tidak bergantung kepada diameter vena tempat kateter dipasang.  Diutamakan akses vena perifer pada ekstremitas superior.  Vena perifer lain, jalur intraoseus (pada usia < 6 tahun), venaseksi, jalur vena sentral, digunakan menurut kebutuhan, sesuai dengan keterampilan dokter yang mengelola.
Pada waktu memasang jalur intravena, diambil sediaan darah untuk pemeriksaan golongan darah, crossmatch, pemeriksaan hematologi dasar, dan test kehamilan pada wanita usia subur.
Terapi cairan intravena menggunakan cairan kristaloid segera dimulai, diutamakan menggunakan Ringer laktat yang dihangatkan (37 – 40°C) dan diberikan secara cepat.  Pada orang dewasa, bolus cairan ini bisa mencapai 2 – 3 liter sampai ada respons yang memadai.   Pada syok karena perdarahan internal, resusitasi cairan dianjurkan tidak mencapai tekanan darah normal, karena hipotensi dan vasokonstriksi adalah pertahanan tubuh menghadapi syok.  Usaha ditekankan pada membawa pasien secepat mungkin ke tempat terapi definitif.  Pada pasien pediatri, bolus RL 20ml/kgBB dapat diberikan sampai tiga kali.  Setelah bolus kedua bila belum ada respons harus konsult bedah, setelah pemberian bolus yang ketiga diberikan PRC 10ml/kgBB.
Syok pada trauma paling sering akibat hipovolemia.  Bila respons masih belum baik, mungkin diperlukan darah dari golongan yang sesuai.   Syok hipovolemia tidak boleh diatasi dengan obat vasopresor, steroid, bikarbonat, atau dengan terus-menerus memberikan kristaloid dan darah.   Perdarahan yang terus berlanjut, perlu dihentikan dengan intervensi bedah, sambil terus diusahakan mengembalikan volume darah intravaskuler.   Hipotermiadapat terjadi sejak pasien tiba di UGD, atau berkembang dengan cepat di UGD pada pasien yang tidak diselimuti, setelah mendapat kristaloid bersuhu kamar, atau setelah transfusi dengan darah dari almari pendingin.  Hipotermia berpotensi letal, dan harus dicegah dengan agresif.   Suhu kamar resusitasi harus dinaikkan, dan cairan atau darah yang diberikan selalu dihangatkan.
Penunjang pada Survei Primer dan Resusitasi

A.   Elektrokardiogram (EKG)
Semua pasien trauma memerlukan monitor EKG.  Disritmia (termasuk takikardia yang tidak jelas penyebabnya, fibrilasi atrium, kontraksi ventrikel prematur, perubahan segmen ST) mungkin disebabkan cedera jantung akibat trauma tumpul.  PEA (pulseless electrical activity) terjadi karena tamponade jantung, pneumotoraks tension, atau hipovolemia yang hebat.  Bila terjadi bradikardia, konduksi aberan, atau denyut prematur, perlu dicurigai adanya hipoksia, hipoperfusi, atau mungkin juga disebabkan oleh hipotermia yang hebat.
B.   Kateter Uretra dan Kateter Lambung
Pemasangan kateter uretra dan kateter lambung ialah bagian dari fase resusitasi.  Sediaan urine harus diperiksa di laboratorium.
Serling: Tercabutnya tiap kateter atau tube yang terpasang pada pasien trauma dapat menjadi malapetaka.  Kesibukan di area resusitasi oleh petugas UGD yang melakukan tindakan diagnosis atau terapi secara simultan, dapat menyebabkan tube terlepas atau ter-geser letaknya. Transportasi di rumah sakit atau antar rumah sakit memberi resiko serupa.

1.   Kateter Uretra. Produksi urin menjadi indikator yang sensitif untuk status sirkulasi pasien karena menunjukkan perfusi ginjal, paling baik dipantau dengan memasang kateter uretra ke dalam buli-buli.  Kontraindikasi pemasangan kateter transuretra ialah transeksi uretra, dicurigai bila ditemukan:  1) darah di meatus uretra eksternus; 2) ekimosis perineum; 3) hematoma skrotum; 4) prostat tak teraba atau terletak tinggi pada pemeriksaan colok rektum; 5) fraktura pelvis.  Karena itu, kateter urin tidak boleh dipasang sebelum dilakukan pemeriksaan genitalia dan rektum.   Pada kecurigaan adanya ruptura uretra, harus dilakukan uretrografi retrograd untuk memastikan uretra intak.
Serling: Pemasangan kateter uretra dapat terhambat oleh kelainan anatomi misalnya striktura uretra atau hipertrofi prostat.  Manipulasi berlebihan atau instrumentasi oleh non-spesialis tidak dianjurkan; lebih baik konsultasi dini kepada spesialis urologi.

2.   Tube Gaster. Indikasi pemasangan tube gaster ialah mengurangi distensi gaster dan menurunkan resiko aspirasi.  Dekompresi gaster tidak mencegah aspirasi sepenuhnya.Cairan lambung yang kental atau yang semi-solid tidak selalu dapat melalui tube dengan mudah, dan pemasangannya dapat merangsang muntah.   Agar efektif, tube harus dipasang dengan tepat, disambung dengan alat penghisap, dan dipastikan berfungsi dengan baik.   Darah keluar dari tube gaster menunjukkan perdarahan orofaringeal yang tertelan, insersi yang traumatik, atau cedera traktus digestif proksimal.  Bila dicurigai ada fraktura os kribriformis, tube gaster harus dipasang melalui rute oral, tidak boleh melalui rute nasal, untuk mencegah pasase intrakranial.
Serling: Pemasangan tube gaster dapat merangsang muntah, sehingga justru menyebabkan aspirasi.  Alat penghisap yang berfungsi dengan baik, harus tersedia saat memasang tube gaster.
C.   Memonitor Pasien
Dibandingkan dengan penilaian kualitatif pada survei primer, resusitasi yang adekuat paling baik dinilai dengan perbaikan parameter fisiologi, misalnya frekuensi nadi, tekanan darah, tekanan nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh, produksi urin, dan analisis gas darah arterial.  Nilai parameter-parameter tersebut harus diperoleh sesegera mungkin setelah survei primer selesai,  diikuti reevaluasi secara periodik.
1.   Frekuensi Pernapasan dan Analisis Gas Darah. Respirasi yang adekuat dimonitor dengan  pemeriksaan ini.  Tube endotrakeal dapat terlepas pada perubahan posisi pasien.
Serling: Pasien dapat mencabut sendiri tube yang terpasang, menggigit balon tube, menutup tube endotrakeal, sehingga reevaluasi sangat penting.
2.   Oksimetri Pulsus. Alat ini mengukur saturasi oksigen pada hemoglobin secara terus-menerus.
Serling: Sensor oksimeter pulsus jangan dipasang didistal manset tekanan darah.  Hasilnya harus dikonfirmasi dengan analisis gas darah arterial.  Bila tidak sesuai, maka berarti ada kerusakan pada salah satu determinan.
3.  Tekanan Darah harus selalu dimonitor, dengan pengertian bahwa ia tidak memberi gambaran yang tepat tentang perfusi jaringan.
Serling: Hemodinamika pasien cedera dipastikan kembali normal bukan hanya dari tekanan darah.  Khususnya pada usia lanjut, dipertimbangkan untuk memasang monitor fungsi jantung secara invasif (monitor CVP).

D.   Sinar-X dan Penunjang Diagnostik Lain
Sinar-X dimanfaatkan dengan penuh pertimbangan, dan tidak boleh menghambat resusi-tasi.   Foto toraks AP dan foto AP pelvis dapat memberi informasi yang mengarahkan penilaian pasien trauma tumpul.  Foto toraks dapat mendeteksi kelainan yang berpotensi mengancam jiwa, sedang foto pelvis dapat menunjukkan fraktura pelvis yang memerlukan transfusi.   Foto servikal lateral dapat mendeteksi fraktura, dan hasil negatif atau foto yang tidak adekuat belum memastikan tidak ada cedera mielum servikal..
Pada survei sekunder, foto spinal servikal dan torakolumbal diperlukan bila keadaan pasien baik dan mekanisme cedera membuat kita mencurigai kemungkinan cedera spinal.  Imobilisasi spinal yang sudah dilakukan pada survei primer tetap dipertahankan.  Foto pada bagian-bagian yang dicurigai ada cedera harus dilakukan.   Foto-X diagnostik yang esensialbukan kontraindikasi pada kehamilan.
Lavase peritoneal diagnostik dan USG abdomen sangat bermanfaat untuk mendeteksi dengan cepat perdarahan intraabdomen, sehingga keputusan untuk menghentikan perdarahan dengan intervensi bedah dapat segera diambil.

Serling: Masalah teknis yang menyulitkan prosedur diagnostik seperti obesitas dan gas intralumen usus dapat terjadi, sehingga diperlukan prosedur diagnostik lain. Dokter bedah yang mengelola pasien harus dilibatkan dalam proses evaluasi, untuk mengarahkan prosedur diagnosis dan terapi lebih lanjut.


Survei Sekunder

Survei sekunder tidak dimulai sebelum survei primer (ABCDE) diselesaikan, resusitasi dilakukan, dan pasien menunjukkan pulihnya fungsi vital.
A.   Anamnesis
Penilaian medik yang lengkap, selalu menyertakan riwayat tentang mekanisme trauma.  Sering anamnesis ini tidak dapat diperoleh dari pasiennya.  Petugas penolong prarumahsakit dan keluarga pasien mungkin dapat memberi informasi yang menjelaskan bagaimana perubahan fisiologi pasien trauma dapat terjadi.  Informasi yang diperlukan dapat diingat dengan mnemonik AMPLE (Allergy, Medications, Past illnesses/ Pregnancy,Lastmeal, Events).
 Mekanisme trauma sangat mempengaruhi cedera yang munngkin terjadi.  Cedera dapat diprediksi dari arah trauma dan besarnya energi.   Secara garis besar, dapat terjadi:
1.      Trauma Tumpul, 
akibat tabrakan kendaraan bermotor, jatuh, atau cedera yang ber-hubungan dengan sarana transportasi, rekreasi, dan kecelakaan kerja, sesuai kelompok umur dan aktivitas yang dilakukan.

2.      Trauma Penetrans
 terdiri dari trauma tembak atau trauma tusuk, saat ini frekuen-sinya makin meningkat khususnya di kota-kota besar. 
3.      Kombustio dan cedera akibat hawa dingin. 
Luka bakar dapat berdiri sendiri atau bersamaan dengan trauma lain.  Perlu dikuasai pertolongan pertamanya yaitu meliputi trauma inhalasi, resusitasi cairan, dan ancaman jiwa akibat gangguan irama jantung dan mioglobinemia pada luka bakar listrik, serta sistem rujukan sesuai tingkat, jenis, dan luas kombustionya. 
4.      Lingkungan yang berbahaya
 meliputi paparan terhadap zat kimia berbahaya, toksin, dan radiasi.
B.   Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan dari puncak kepala sampai ke ujung jari kaki secara teliti, sistematis, berurutan:  “From head to toe, fingers and tubes in every orifice”.   Dilakukan inspeksi, auskultasi, perkusi, palpasi, sesuai dengan regio yang diperiksa (bisa disederhanakan menjadi look, listen, feel misalnya pada wajah; atau look, feel, move misalnya pada ekstremitas).  Diperiksa secara lembut (gentle), mencari kelainan dengan mnemonik DCAP-BTLS (deformities, contusions, abrasions, penetrations, burns, tenderness, lacerations, swellings).  Urutannya ialah pemeriksaan kepala, maksilofasial, leher, toraks, abdomen, perineum/rektum/vagina, muskuloskeletal, dan pemeriksaaan neurologi.   Untuk memeriksa bagian posterior trunkus, diperlukan manuver log-rolling, yaitu menggulingkan pasien seperti sebuah balok kayu.  Perlu diperhatikan imobilisasi servikal, serta gerak pelvis dan bahu yang bersamaan.  Daerah leher dan torakolumbal adalah bagian yang perlu diproteksi dengan baik, jangan sampai terjadi pasien yang semula tidak ada kelainan neurologinya, menjadi lumpuh setelah manipulasi yang salah.

Serling:
1. Edema fasial atau pasien koma akan menyulitkan pemeriksaan mata.
2. Beberapa fraktura maksilofasial (fraktura os nasal, zygoma, orbita) sulit didiagnosis.
3. Trauma tumpul pada leher mungkin menyebabkan cedera yang gejalanya timbul kemudian, misalnya pada ruptura intima arteri karotis.   Identifikasi cedera radiks saraf servikal atau pleksus brakialis sulit pada pasien koma.   Dekubitus cepat berkembang pada pasien yang diimobilisasi pada long spine board lebih dari dua jam.
4. Pasien usia lanjut mudah mengalami insufisiensi respirasi pada trauma toraks yang relatif ringan.  Anak sering mengalami cedera struktur intratorakal tanpa fraktura kosta.
5. Fraktura pelvis tidak boleh dimanipulasi berlebihan, karena itu penting menilai foto pelvis.  Cedera organ retroperitoneal dan organ berongga sering sulit diidentifikasi.
6. Ruptura uretra pada wanita jarang dijumpai kecuali pada fraktura pelvis atau cedera kelangkang (straddle injury). Sulit menilai kehamilan dini.
7. Fraktura pelvis sering menyebabkan perdarahan yang fatal, sulit untuk dihentikan.  Fraktura tangan dan pergelangannya, fraktura pedis, sering luput dari diagnosis di UGD.  Demikian pula cedera jaringan lunak sekitar sendi.
8. Kenaikan tekanan intrakranial dapat menurunkan tekanan perfusi serebral, yang mungkin menyebabkan kerusakan otak sekunder.   Sebagian besar prosedur terapi dan diagnostik pada cedera kepala, menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (misalnya: intubasi) sehingga harus dilakukan dengan sangat berhati-hati.  Meskipun semua pertolongan sudah diberikan, tetap ada kemungkinan terjadi perburukan status neurologi secara tiba-tiba pada pasien cedera kepala.
Gejala trauma dibagi menjadi empat kategori. Seseorang yang mendapat pengalaman traumatis akan memperlihatkan beberapa gejala dan kombinasinya. Gejala-gejala yaitu:
  • Memutar kembali peristiwa traumatis seperti. Seseorang yang mengalami trauma sering merasa peristiwanya terulang kembali. Hal ini biasanya disebut flashback, atau menghidupkan kembali peristiwa. Orang ini mungkin mempunyai gambaran mental di kepalanya tentang trauma, mengalami mimpi buruk, atau bahkan mungkin mengalami halusinasi tentang trauma. Gejala ini sering menyebabkan seseorang kehilangan ”saat sekarang” dan bereaksi seolah-olah mereka mengalaminya seperti awal trauma terjadi. Contoh, beberapa tahun kemudian seorang anak akibat penganiayaan mungkin akan bersembunyi gemetaran di closet bila merasa ketakutan, meskipun ketakutan itu tidak berhubungan dengan penganiayaan.
  • Penghindaran. Seseorang yang mengalami trauma berusaha untuk menghindari segala sesuatu yang mengingatkan mereka kembali pada kejadian traumatis. Mereka mungkin akan menghindari orang-orang, tempat, benda-benda yang mengingatkan, termasuk juga bersikap dingin untuk menghindari rasa sakit, perasaan yang berlebihan. Membekukan pikiran dan perasaan akibat trauma disebut juga ”disasociation” dan merupakan karakteristik trauma.
  • Pelampiasan. Seseorang yang menderita trauma kadang mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok untuk menghindari ingatan-ingatan dan perasaan yang berhubungan dengan trauma. Dengan mengkonsumsi obat-obatan penenang atau alkohol atau rokok memang mereka dapat merasa tenang, tetapi hal itu sifatnya hanya sementara.
  • Pemicu. Gejala-gejala pemicu psikologis dan fisiologis sangat berbeda-beda pada orang-orang dengan trauma. Mereka mungkin sangat cemas, mudah gelisah, mudah tersinggung atau marah, dan mungkin mengalami sulit tidur seperti insomnia, atau mimpi buruk. Mereka akan terlihat terus menerus waspada dan mengalami kesulitan konsentrasi. Sering orang dengan trauma akan mengalami panic attack yang dibarengi dengan nafas yang pendek dan sakit di bagian dada.
  • Perasaan bersalah. Sering seseorang merasa bersalah tentang apa yang telah terjadi dan mereka salah meyakini bahwa mereka pantas untuk disalahkan atau pantas mendapatkan hukuman.
Setiap orang dapat mengembangkan trauma, tidak peduli dia laki, perempuan, anak-anak, tua dan muda. Korban trauma yang berhubungan dengan serangan fisik dan seksual menghadapi resiko yang besar berkembang menjadi trauma. Wanita dua kali lebih besar mengembangkan trauma dari pada laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena fakta bahwa wanita lebih emosional dibanding pria. Peristiwa yang berpotensi menyebabkan trauma antara lain:
  • Menyaksikan sebuah peristiwa kekerasan atau mengerikan, atau berulang-ulang menghadapi situasi yang mengerikan.
  • Kekerasan dalam rumah tangga atau pasangan intim
  • Perkosaan atau pelecehan seksual
  • Serangan tiba-tiba atau pembajakan
  • Perlakuan kekerasan di tempat umum, di sekolah, atau di tempat kerja.
  • Kecelakaan mobil atau kebakaran
  • Bencana alam, seperti gempa bumi
  • Kejadian kecelakaan besar, seperti kecelakaan pesawat terbang atau serangan teroris
  • Bencana yang disebabkan oleh kesalahan manusia, seperti kecelakaan industri.
  • Veteran perang atau korban perang sipil.
  • Kematian mendadak salah satu anggota keluarga atau orang yang dicintai.
  • Orang yang ditinggal atau dihianati oleh orang dekat.
  • Dan seterusnya...






1. Kejadian Traumatis Karena Dikianati Pacar
Sebut saja, Ani, wanita 28 tahun di sebuah kota di Jawa Timur, menceritakan pengalaman traumatisnya yang terjadi lebih dari 3 tahun yang lalu. Ia merasa dikhianati oleh kekasihnya yang
’9baru sadar bahwa kekasihnya itu sudah beristri. Ia telah menyerahkan segalanya kepada kekasihnya ini, karena kekasihya berjanji akan menikahinya. Suatu peristiwa klien saya hamil dan oleh kekasihnya disuruh untuk menggugurkan kandungannya. Dan Klien saya mengambil resiko dengan nyawanya untuk menggugurkan calon bayi yang ada dalam kandungannya itu. Tapi sayang, setelah kekasihnya lalu meninggalkannya begitu saja.
Sejak saat itu Klien saya mengalami depresi selama hampir tiga tahun lebih akibat trauma masa lalu dengan kekasihnya itu. Namun ia tidak menceritakan apakah traumanya itu sudah menimbulkan rasa sakit pada tubuh fisiknya.
Begitu banyak hal, kenangan dan benda-benda yang mengingatkannya kembali pada kekasihnya, seperti bila melihat mobil Zenia ia akan teringat kekasihnya, bila melihat kalender, pakaian, ia akan teringat kekasihya, bila malam tiba ia juga teringat ketika kekasihnya sering datang ke kostnya dan mengobrol bersama teman-teman kostnya, ia teringat prosesi waktu menggugurkan kangdungannya,dll.
Ia mengatakan dalam sehari bisa lebih dari 10 kali ia teringat akan kekasihnya itu. Bila trauma itu datang, maka di situ berkumpul kebencian, penyesalan, dendam, amarah, dan kekecewaan, dan ia akan mengirim sms kepada kekasihya sebagai ungkapan kemarahanya.
Saya melakukan terapi dengan EFT untuk menghapus memori traumatis itu pada aspek-aspek-aspek yang membuatnya depresi. Sempat klien saya mengalami kesulitan mengingat hal-hal yang membuatnya depresi. Karena itu lalu saya meminta klien saya untuk segera mencatat ketika timbul hal-hal yang memicu ingatanya.
Setelah dilakukan tapping pada semua aspek yang ada, klien saya melaporkan bahwa kini ia merasa lebih tenang dan dapat mengendalikan emosinya untuk tidak mengirim sms ke kekasihya itu. Ia juga mengatakan sekarang ia tidak merasa sakit hati lagi.
Depresi yang dialami klien saya ini tidak hanya datang dari trauma masa lalunya, tapi juga rencana perkawinannya yang akan dilangsungkan satu bulan lagi. Ketakutan-ketakutan datang membayangi klien saya untuk menghadapi kehidupan bersama calon suaminya nanti. Beberapa ketakutannya seperti takut trauma masa lalunya akan mempengaruhi hubungan perkawinanya, klien saya tidak mencintai calon suaminya karena ia menikah atas kemauan orang tua, takut menghadapi malam pertama karena tidak ada hasrat seks kepada calon suaminya, beberapa bentuk fisik dari calon suami tidak ia sukai. Karena itu saya lakukan tapping pada aspek-aspek di atas.

setelah pesta perkawinan dilangsungkan, saya menunggu kabar dari klien saya pada keesokan harinya. Dan malam harinya klien saya memberi kabar bahwa baru besok malam ia akan menjalani malam pertama bersama suaminya. Ia mengatakan mohon dibantu doa. Dua bulan kemudian saya mencoba untuk menanyakan kabar dan keadannya. Klien saya mengatakan bahwa kehidupan perkawinan bersama suaminya dalam keadaan baik dan kini mereka sedang fokus untuk mendapatkan momongan serta mengembangkan usaha suaminya.

2. Trauma dibalik derita sakit kepala dan insomnia bertahun-tahun
Kita akan melihat bahwa derita fisik sering merupakan efek lanjutan dari masalah emosional.
Hendi, pria 25 tahun, mengeluhkan sakit kepalanya yang intens yang ia derita setiap hari. Menurutya sakit kepalanya karena ia selalu kurang tidur atau insomnia. Saya mencoba melakukan tapping EFT pada aspek sakit kepalanya. Sesi tapping pertama menurukan intensitas sakit kepalanya menjadi 8 dari skala10. Tapping kedua menurunkan intensitas sakit kepalanya menjadi 5. Tapping ketiga tidak menurunkan intensitas sakit kepalanya.
Lalu saya mulai menggali faktor-faktor emosional yang mungkin menjadi penyebabnya.
Saya ketahui bahwa klien saya mengalami kepedihan emosional dari masa lalu dengan kekasihnya pada waktu mereka masih kuliah.
Beberapa faktor utama emosional yang dimiliki klien saya ini adalah :
- Merasa sangat kehilangan kekasihnya
- Memendam amarah kepada bapak kekasihya
- Teringat saat jalan-jalan bersama kekasihnya
- Merasa hidupnya berantakan gara-gara peristiwa ini
- Teringat kebaika kekasihya
Setelah dilakukan tapping EFT intensitasnya turun menjadi 2 dan sakit kepalanya hanya tersisa sedikit dan hal itu bukan masalah lagi baginya sebagaimana penuturannya. Seluruh sesi terapi ini berjalan kurang dari satu jam Walaupun intensitas sakit kepalanya sudah tidak mengganggu lagi, saya menyarankan klien saya untuk melakukan tapping di rumah untuk menuntaskan masalah yang mungkin terlewatkan.
Tiga bulan kemudian saya kembali menanyakan kondisi klien saya ini. Ia melaporkan bahwa sekarang ia dapat tidur dengan baik dan sakit kepalanya sudah hilang.
3. Masalah Emosional penderita Migren Puluhan Tahun Hilang Dalam Satu Jam Terapi
Seorang pasien wanita berumur 40an menderita penyakit migren yang diderita sejak masih di SMA. Penyakitnya begitu membuatnya menderita yang sangat serius sehingga tidak dapat berbuat apapun. Sampai-sampai bila penyakitnya datang di bagian pundaknya timbul bengkak-bengkak, sakit di belakang leher, kedua mata terasa senut-senut dan pegal sekali. Bolak-balik ke dokter sudah menjadi hal yang biasa namun tidak melenyapkan penyakitnya.
Saat saya tangani pasien sedang menderita migraine dan harus berbaring, bagian leher belakang terasa sakit dan kaku, mata sebelah kiri terasa berat dan mau copot. Pertama-tama saya tangani untuk aspek penyakit fisiknya. Saya lakukan tapping dua putaran penuh untuk masalah sakit di leher belakang, dan satu putaran penuh untuk sakit pada mata kirinya. Sebelum ditapping skala sakitnya 10, dan 0 setelah ditapping.
Lalu saya melakukan pencarian akar masalah penyebab penyakitnya. Dari penuturan pasien hal yang menjadi pemicu masalah adalah rasa kesal yang terus disimpan terhadap suatu masalah. Bila keinginannya tidak terpenuhi, melihat perabotan rumah tidak teratur merupakan salah satu penyebab timbulnya rasa kesal.
Saya lakukan tapping untuk ke dua faktor emosi di atas. Skala emosi antara 6-7, dan setelah tiga putaran penuh skala emosi menjadi 0. Pengecekan saya lakukan terhadap emosi dan sakit fisiknya. Pasien mengatakan bahwa ia tidak mengalami rasa kesal lagi dan kini migren yang diderita hilang sama sekali. Proses terapi EFT ini memakan kurang lebih satu jam dn tidak memerlukan alat bantu atau obat-obatan.

4. Phobia Kecoa
Anak saya Kinanty, 9 tahun, sangat takut dengan kecoa, kalau Ia sedang ke dapur dan melihat kecoa ia langsung ngibrit lari dan memanggil mbaaaaaahhhh…ada kecoaaaaaa. Begitupun bila Ia mendapati kecoa di kamar mandi Ia langsung lari. Pengalaman itu membuat Ia takut bila ingin mengambil piring ke dapur atau ke kamar mandi.
Saya coba lakukan tapping pada anak saya terhadap rasa takut pada kecoa. Saya memintanya untuk mengikuti setup word yang saya ucapkan dan memintanya membayangkan kecoa ketika saya tapping. Satu putaran tidak membuat hilang takutnya pada kecoa. Saya ketahui ini ketika saya memintanya untuk membayangkan kecoa dan Ia mengatakan masih takut. Lalu saya coba gali lebih spesifik dengan menanyakan pengalaman dengan kecoa yang pernah Ia alami. Anak saya mengatakan takut bila melihat kecoa terbang. Lalu saya lakukan tapping dengan aspek tersebut. Setelah itu saya meminta Ia membayangkan kembali kecoa yang terbang tapi ia mengatakan masih takut. Saya tanyakan kembali hal apa yang diingat ketika ia takut melihat kecoa, Anak saya mengatakan ia takut dengan sayap kecoa ketika terbang. Lalu saya tapping dengan aspek tersebut. Setelah tapping dengan versi sortcut saya meminta anak saya membanyangkan kembali. Tapi ia masih merasa takut. Kemudian saya mencoba gali kembali pengalaman yang lalu. Kali ini anak saya mengatakan dulu sewaktu ia mencuci piring pernah dihinggapi oleh kecoa. Lalu saya kembali melakukan tapping dengan aspek ini. Setelah saya meminta membayangkan peristiwa itu kembali ia mengatakan kini ia tidak takut lagi pada kecoa. Saya mendapati bukti bahwa anak saya sudah hilang takut pada kecoanya dari laporan ibu saya yang mengatakan bahwa anak saya sudah tidak lari ataupun bereakti ketika ada kecoa di dapur dan kamar mandi.

5. Panic Attack

Beberapa orang mengalami serangan panik yang sangat membuatnya menderita. Kebanyakan mereka pergi ke dokter dan hanya diberikan obat untuk menghilangkan gejala-gejala fisik yang diakibatkan oleh serangan panik tersebut tanpa tidak menyentuh akar masalahnya.
Berikut cerita seorang pasien yang diterapi untuk panic attact yang dideritanya.
Seorang anak muda (15thn) saat itu sedang menderita serangan panic (panic attact) lebih dari tiga tahun. Orang tuanya telah melakukan berbagai macam cara untuk menyembuhkannya dan tidak ada hasilnya. Saya melakukan kunjungan ke pasien untuk memberikan terapi masalahnya.
Pasien menceritakan bahwa serangan panic muncul pada pagi hari. Pada saat itu ia merasakan sakit di bagian perut dan disertai sakit kepala. Hal ini membuatnya tidak dapat bicara. Dia juga menelan obat tidur untuk membantunya untuk bisa tidur.
Saya memberikan keterangan singkat tentang apa yang akan saya lakukan padanya. Ia merasa tidak percaya dengan terapi yang saya lakukan akan dapat melenyapkan masalahnya. Tapi saya bilang padanya tidak ada salahnya dicoba.
Saya memintanya untuk memberikan skala intensitas rasa sakit pada bagian perutnya. Dia mengatakan 8. Tapping dua putaran penuh membuat rasa sakit di bagian perutnya turun menjadi 5. Dan dua putaran berikutnya membuat rasa sakitnya turun menjadi 1. Dia merasakan nyaman dengan perutnya. Lalu saya melakukan tapping untuk sakit kepalanya yang awalnya pada intensitas 5 turun hingga 0.
Lalu saya menuju pada perasaan panic yang menyerang setiap pagi. Pasien mencoba merasakan paniknya tapi tidak dapat meskipun ia sudah berusaha. Ia merasa senang dan begitu pula dengan orang tuanya.




6. Takut pada kegelapan
Seorang pasien menghubungi saya untuk meminta diterapi. Ia mengatakan mengalami rasa takut bila ingin ke kamar mandi. Saya katakan padanya bahwa ia mengalami fear of darkness atau rasa takut di tempat gelap. Ia mengatakan bahwa ia merasa seolah-olah akan diserang oleh seseorang di rumahnya sendiri, terutama ketika ia ingin pergi ke kamar mandi. Ia tidak dapat tidur dan merasa kawatir bila tidur dengan kondisi lampu mati. Dan bila ia ingin ke kamar mandi semua lampu di rumah harus menyala. Atau kalau tidak ia akan memilih untuk tetap di kamar tidurnya dan menjalani malamnya dengan penderitaan.
Saya hanya melakukan satu kali sesi dengan empat putaran untuk masalah fear of darknessnya. Saya lakukan tapping pada bebeapa masalah emosional yang menjadi penyebabnya. secara keseluruhan sesi terapi hanya memakan waktu kurang dari satu jam dan kini pasien berani pergi ke kamar mandi kapanpun ia mau tanpa harus menyalakan semua lampu di rumah.
Berhati-hatilan dengan segala informasi yang masuk kepada anda, mungkin itu bisa berbentuk iklan atau berita kekerasan di TV, cerita dari seseorang, dll. Karena bila sistim keyakinan anda memecayainya, anda akan mengalami keadaan seperti yang anda takutkan. Hal itu akan membuat anda menderita. Dan akan diperparah lagi bila anda mencoba mengatasi masalah anda dengan obat penenang. Selain anda akan tergantung dengan obat itu, pemakaian jangka panjang akan mengganggu daya ingat anda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar